Langsung ke konten utama

Ulama dan Madrasah : Power and Knowledge

Pendahuluan

Pendidikan Islam dalam pengertian luas dapat dikatakan telah muncul dan berkembang sejalan dengan kelahiran agama Islam. Pada awalnya, pendidikan Islam bersifat informal, yakni berupa kegiatan dakwah untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama. Pada masa ini berlangsung kegiatan pendidikan di berbagai tempat yaitu di rumah-rumah, masjid-masjid, dan tempat-tempat lainnya. Kelahiran madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan alternatif dalam mengatasi sistem pendidikan yang telah ada sebelumnya. Di samping itu, madrasah juga dapat dipandang sebagai pendidikan lanjutan yang mengajarkan berbagai macam keilmuan tingkat tinggi.

Sebagai bentuk lembaga pendidikan, kemunculan madrasah telah menawarkan nuansa baru dalam dalam sistem pendidikan Islam. Kemunculan madrasah khususnya setelah didirikannya Madrasah Nizamiyah telah memunculkan corak berbeda baik dalam sistem pengelolaan maupun dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Dalam proses pengajaran misalnya, peran guru tidak lagi menjadi sentral pendidikan yang menentukan segala-galanya, tetapi diatur dalam suatu aturan tertentu.
Tulisan ini akan membahas seputar kekuasaan ulama (baca: guru) dalam sistem pendidikan Islam, khususnya pada lembaga pendidikan madrasah. Di samping itu, juga akan diuraikan berkaitan dengan jenis pengetahuan yang dikembangkan pada lembaga tersebut. Kekuasaan dimaksud adalah berkaitan dengan kedudukan dan peran ulama dalam kegiatan pendidikan, sedangkan dengan pengetahuan yang dimaksud adalah materi yang diajarkan di madrasah.
Untuk membahas kedua topik tersebut, yaitu peran ulama dan jenis pengetahuan yang dikembangkan pada lembaga pendidikan madrasah, penulis menganggap perlu untuk membuat perbandingan pelaksanaan pendidikan madrasah pra Nizamiyah dengan madrasah pasca Nizamiyah.

Ulama dan Madrasah

Madrasah secara umum berarti tempat belajar. Istilah madrasah sendiri ditemukan pada masa Harun al-Rasyid yang dimaksudkan sebagai sarana belajar yang disediakan untuk studi ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu penopang lainnya di lingkungan klinik di Baghdad. Dalam sejarah pendidikan Islam, istilah madrasah tidak semata-mata dikaitkan dengan arti tempat belajar. Madrasah dalam sistem pendidikan Islam dapat dikaitkan dengan arti ‘sekolah khusus’, dan dapat pula berarti sekolah ‘formal’.
Mengenai asal-usul madrasah sebagai sistem pendidikan yang terbuka bagi masyarakat (public institution) pada awalnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan yang dilaksanakan di masjid-masjid. Lambat laun madrasah menjadi lembaga pendidikan yang terpisah dari kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di masjid-masjid.
Sebagai suatu lembaga pendidikan, munculnya bentuk madrasah dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat pada saat itu. Perkembangan ilmu-ilmu yang terjadi di dunia Islam serta berbagai kebutuhan praktis telah menjadi faktor pendorong kelahiran madrasah. Dalam kaitan ini, madrasah menjadi lembaga pendidikan alternatif untuk memecahkan berbagai keterbatasan pelaksanaan pendidikan pada lembaga-lembaga tradisional yang bersifat informal. Meskipun demikian, kemunculan madrasah-madrasah tidak berarti menggantikan lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya. Lembaga-lembaga tradisional tetap ada bersama kebangkitan madrasah-madarasah di berbagai wilayah kekuasaan Islam.


Madrasah Pra Nizamiyah

Sebelum berdiri Madrasah Nizamiyah pada abad ke-5 Hijrah, di kalangan masyarakat Islam telah terdapat beberapa lembaga pendidikan. Para ahli sejarah terutama yang mengkhususkan penelitiannnya pada sejarah pendidikan Islam mencoba memberikan klasifikasi terhadap lembaga pendidikan Islam. Ahmad Syalabi dalam buku tarikh al-tarbiyah al-Islamiyah menyebutkan bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam sebagai berikut :
1. Kutab untuk belajar membaca dan menulis, belajar al-qur’an dan dasar-dasar agama Islam
2. Pendidikan di istana-istana
3. Toko-toko buku
4. Rumah-rumah ulama
5. Sanggar-sanggar sastra
6. Padang pasir
7. Masjid-masjid
George Makdisi seperti dikutip Hanun Asrohah menyebutkan lembaga pendidikan Islam sebelum kebangkitan madrasah meliputi maktab (kuttab), halaqah, majlis, masjid, khan, ribath, rumah-rumah ulama, toko-toko buku dan perpustakaan, dan observatorium serta rumah sakit. Di samping lembaga-lembaga pendidikan tersebut, terdapat beberapa pusat-pusat kajian ilmiah dan beberapa madrasah.
Indikasi telah terdapatnya madrasah pada sebelum masa Nizam al-Mulk disebutkan oleh Mansoor Quraishi bahwa telah terdapat madrasah yang terlepas dari sistem pendidikan masjid di Nisapur, Khurasan pada awal abad ke-IV H. atau sekitar dekade awal abad ke-9 M. Akan tetapi, madrasah-madrasah sebelum abad ke-IV lebih mirip sekolah khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu agama, seperti hadits, tafsir, dan hukum-hukum Islam (fiqih). Pada saat ini banyak para guru mendirikan tempat khusus (milik pribadi) untuk memberikan pengajaran hadits atau fiqih. Hal ini dikuatkan oleh pendapat yang menyebutkan bahwa perkembangan masjid menjadi madrasah diawali dengan pendirian madrasah di Khurasan oleh Abu Bakar bin Furok (w. 405/1014) sekitar 150 tahun sebelum berdirinya madrasah Nizamiyah. Perkembangan berikutnya adalah dengan berdirinya madrasah Nizamiyah oleh Nizam al-Mulk dengan sistem yang lebih terorganisir dan mempunyai tujuan yang jelas. Madrasah tertua yang didirikan adalah Madrasah Miyan Dahiya oleh Abul Ishaq Ibrahim ibn Mahmud di Nishapur. Pada tahun 400 H. / 1009 M. terdapat madrasah yang didirikan oleh Abu Hasan al-Bayhaqi yang disebut Madrasah Bayhaqiyyah. Naji Ma’ruf bahkan menyebutnya lebih dari 165 tahun sebelum kelahiran Madrasah Nizamiyyah telah berkembang madrasah-madrasah di Khurasan. Demikian pula yang dikatakan oleh Abd. Al-‘Al bahwa pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi yang berkuasa pada tahun 998-1030 M. telah berdiri madrasah Sa’idiyyah.

Teacher Centered
Dalam Islam, seorang ulama mempunyai kedudukan tinggi. Ia adalah pemimpin agama yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan bimbingan dan pelajaran kepada masyarakat. Pada masa awal-awal Islam para ulama dengan sukarela memberikan pelajaran kepada masyarakat meskipun dengan melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain.
Dalam memberikan bimbingan atau pelajaran mereka (para ulama) biasanya mendirikan suatu khalaqah yang sering diidentikan dengan nama pengajarnya. Pada awalnya khalaqah tersebut terdapat di masjid-masjid. Kemudian perkembangan berikutnya terdapat pula khalaqah-khalaqah yang berada di luar masjid. Khalaqah-khalaqah yang terdapat di luar masjid ini didirikan secara khusus dan bersifat perorangan untuk keperluan pengajaran. Oleh karena itu khalaqah seperti ini sering disebut juga sebagai suatu madrasah. Pelaksanaan kegiatan pendidikan pada madrasah ini sangat bergantung pada seorang guru atau syaikh. Seorang guru (ulama) akan memberikan pelajaran tanpa terika pada materi tertentu. Ia akan mengajarkan apa saja yang diketahui.
Dalam sistem ini, seorang guru (ulama) tidak saja membacakan buku secara keras dan mengulas isi pelajaran, tetapi juga melibatkan murid-murid dalam diskusi. Seorang guru menerima pertanyaan dari murid-murid dan peserta lainnya dalam membahas materi yang diajarkannya. Debat juga dilakukan sebagai suatu metode pengajaran hukum tingkat tinggi. Baik guru maupun murid tetap terlibat aktif dalam kegiatan pendidikan dan kebebasan akademis. Berceramah, tanya jawab, dan berdiskusi antar peserta dan juga dengan guru.
Dalam hal penerimaan murid, madrasah-madrasah tersebut terbuka menerima murid terdaftar, maupun sekedar pengunjung untuk bergabung dalam kegiatan khalaqahnya. Orang dari berbagai usia yang tertarik dengan satu kajian dapat mendengarkan ceramah atau diskusi kapan saja, tanpa harus bergabung dengan kelompok syaikh (guru) tertentu secara formal. Kegiatan pendidikan pada tingkat tinggi ini tidak dibatasi oleh persyaratan-persaratan tertentu. Pendidikan ini terbuka lebar bagi siapapun yang hendak belajar dan melanjutkan pendidikannya. Para siswa bebas mempelajari ilmu apapun yang disukai. Di tingkat atas semacam ini, kadang kala ada murid yang mampu menyelesaikan lima tahun pendidikan dan ada pula yang sepuluh tahun. Pendidikan sangat tergantung pada murid dan keseriusannya dalam membaca sumber-sumber tambahan agar dapat memahami dan uraian gurunya secara lebih baik. Murid-murid tidak perlu membayar uang sekolah, dan tidak terikat peraturan di mana mereka harus tinggal atau bekerja. Mereka boleh pergi atau datang sesuka hati dan mengikuti pelajaran mana saja yang diminati. Bahkan murid dapat berpindah-pindah untuk mengikuti beberapa khalaqah, dari satu ke tempat lainnya, dan dari satu kota ke kota lainnya. Meskipun demikian, sebelum mengikuti pelajaran pada dalam khalaqah ini harus sudah mempersiapkan dalam hal penguasan bahasa Arab, pengetahuan al-qur’an dan sunnah untuk mampu memahami ceramah-ceramah yang diberikan yang biasanya sudah pada tingkat tinggi.
Kelulusan seorang murid ditentukan oleh seorang guru yang dilakukan dengan pemberian ‘ijazah’ tanpa ada ujian tertulis. Biasanya murid yang telah menyelesaikan satu bidang ilmu akan ditanyai mengenai ilmu yang ditekuninya. Apabila menunjukkan tanda kecakapan dan penguasaan dalam ilmu tersebut, ia diberikan hak atau idzin (ijazah) untuk mengajarkan ilmunya.

Sekolah Khusus atau Sekolah Madzhab

Madrasah pada masa pra Nizamiyah cenderung merupakan tempat pengajaran ilmu-ilmu agama belaka seperti hadits, tafisr dan hukum-hukum Islam atau fiqih, dan karenaya disebut sebagai ‘sekolah khusus’. Richard W. Bulliet menyebutkan bahwa dari 39 nama madrasah yang dihimpunnya kebanayakan mengajarkan fiqih baik mengenai madzhab tertentu maupun beberapa madzhab. Oleh karena materi ilmu-ilmu agama yang diajarkan pun terbatas pada ilmu hadits atau ilmu fiqih sehingga sering madrasah dianggap sebagai sistem pendidikan bercorak fiqih dan hadits. Bahkan tidak jarang ilmu fiqih yang diajarkan terbatas pada madzhab tertentu. Oleh karena itu madrasah pada masa pra Nizamiyah ini dapat dianggap sebagai sekolah atau madrasah madzhab. Quraishi menyebut madrasah pra Nizamiyah ini sebagai sekolah khusus (special school) karena materi pengajarannya yang menekankan pada pengajaran dan pengembangan madzhab tertentu.
Kecenderungan madrasah pra Nizamiyah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama berpengaruh para ‘alumni’-nya. Mereka yang dihasilkan dari madrasah ini tentu adalah para ilmuwan yang ahli di bidang ilmu agama saja, atau bahkan ahlli madzhab saja karena pada saat belajar yang diterimanya adalah madzhab tertentu.

Madrasah Nizamiyah
Madrasah Nizamiyah didirikan oleh seorang perdana menteri dari Dinasti Bani Saljuk yang mengambil alih kekuasaan Khalifah Abbasiyah. Ketika Nizamul Mulk diangkat menjadi wazir (perdana menteri), pada tahun 1067 ia mendirikan suatu sekolah di Baghdad yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Nizamiyyah. Dijelaskan bahwa pembangunan madrasah ini memakan waktu dua tahun, yaitu tahun 457 H sampai 459 H. yang terletak di pinggir sungai Dajlah.
Madrasah Nizamiyah yang berdiri pada abad kelima Hijrah oleh banyak kalangan dianggap sebagai model baru dalam sistem pendidikan tinggi Islam. Sistem pendidikan madrasah tidak lagi terpusat pada seorang guru, tetapi dikelola secara manajerial. Pihak pengelola madrasah-lah yang menetapkan staf pengajar yang akan memberikan materi.

Sekolah Terorganisir (Organized School)
Berbeda dengan sistem pendidikan sebelumnya, madrasah Nizamiyah terikat dengan seperangkat aturan dan mempunyai sistem administrasi yang relatif rapi. Ketentuan-ketentuan atau peraturan dan kegiatan administrasi ini ditetapkan oleh pengelola madrasah. Abdul Majid Abdul Futuh, seperti dikutip Maksum, bahwa madrasah (Nizamiyah) merupakan lembaga pendidikan resmi negara, dan karenanya pemerintah pun terlibat dalam penentuan tujuan-tujuan, kurikulum, pengangkatan guru, serta penyediaan dana. Keterlibatan pemerintah dalam lembaga ini juga terlihat dari beberapa motif didirikannya madrasah seperti diungkapakan Hasan Asari, yaitu bahwa Madrasah Nizamiyah didirikan atas beberapa faktor yang antara lain adalah memenuhi kebutuhan tenaga terdidik untuk keperluan tugas-tugas kepemerintahan. Dalam hal ini pihak pengelola mempunyai kewenangan dalam memilih dan menentukan para pengajar (syaikh) di madrasah serta fasilitas-fasilitas yang diberikan seperti gaji, dan asrama atau tempat tinggal. Untuk keperluan operasional pendidikan, Nizamul Mulk melalui anggaran pemerintah menyediakan dana yang besar yang dialokasikan untuk kesejahteraan atau gaji para guru dan untuk penyediaan makanan, pakaian, dan tempat tinggal mahasiswa. Para guru yang mengajar di Madrasah Nizamiyah ini diangkat oleh pemerintah, dan karenanya hanya para guru terseleksi yang dapat memberikan pengajaran. Di samping kesejahteraan guru atau tenaga pengajar dan mahasiswa, tenaga-tenaga yang lain seperti tenaga administrasi, pustakawan serta Imam shalat juga mendapat perhatian dalam pengelolaan madrasah. Madrasah Nizamiyah di Baghdad bahkan dilengkapi dengan perpustakaan yang baik dengan koleksi sekitar 6.000 jilid buku disertai dengan daftar atau katalognya.
Komentar lain diberikan oleh Stanton yang menyatakan bahwa didirikannya madrasah (Nizamiyah) sebagai lembaga pendidikan memberikan aturan baru tentang gaji guru dan staf madrasah lain ditambah dengan fasilitas asrama. Di samping itu, disediakan pula beasiswa dan fasilitas asrama bagi para mahasiswa yang belajar. Pembiayaan ini diambil dari dana wakaf.
Dengan demikian pada madrasah pasca Nizamiyah terdapat seperangkat aturan yang jelas dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan. Hal ini berbeda dengan madrasah pra Nizamiyah yang lebih tergantung dari seorang guru atau syaikh.

Madrasah Nizamiyyah di Baghdad


Madrasah dan Perkembangan Ilmu-Ilmu

Sebagai suatu lembaga pendidikan merupakan lembaga atau tempat mengajrkan ilmu-ilmu agama. Azyumardi Azra menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara madrasah dan pencapaian kemajuan peradaban Islam pada masa klasik. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang terbuka untuk masyarakat umum tidak lain hanya merupakan tempat pengajaran ilmu-ilmu agama.
Kenyataan tersebut dapatlah dimaklumi karena pada masa itu di kalangan masyarakat muslim telah terjadi dikotomi antara ilmu-ilmu agama (ulum al-diniyyah) dan ilmu-ilmu non-agama atau ilmu-ilmu keduniaan (ulum al-duniawiyyah).
Dengan demikian di sini terdapat dua kategori, yaitu madrasah yang mengajarkan ilmu agama secara umum yang meliputi berbagai disiplin seperti tafsir, hadits, fiqih dan ushul fiqih, dan bahasa Arab, dan madrasah yang hanya secara khusus mengajarkan satu bidang ilmu agama saja yaitu bidang fiqih, dan bahkan satu madzhab fiqih saja. Besar kecilnya jumlah peserta tergantung dari kepopuleran seorang guru. Meskipun demikian, madrasah yang menawarkan berbagai disiplin ilmu agama umumnya lebih diminati masyarakat.


Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai kekuasaan ulama dan jenis-jenis pengetahuan yang diajarkan di madrasah, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pendidikan madrasah pada masa sebelum berdirinya madrasah Nizamiyah berpusat pada seorang guru (teacher centered). Guru merupakan seorang ulama yang dipandang mempunyai kompetensi keilmuan yang dalam dan luas. Seorang guru menetapkan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan, menetapkan materi yang akan diajarkannya, dan guru juga menentukan ‘kelulusan’ seorang murid.
2. Pada madrasah Nizamiyah dan madrasah lain sesudahnya, kegiatan pendidikan tidak lagi tergantung pada seorang guru. Madrasah pada masa ini lebih merupakan suatu lembaga formal (formal institution) yang mempunyai aturan yang jelas dan terorganisasi (organized). Penetapan staf pengajar (guru), materi, tujuan, dan sarana lainnya ditentukan oleh pengelola madrasah. Dengan demikian guru bukanlah pusat segala-galanya karena ia dapat diangkat dan diberhentikan kapan saja oleh pihak pengelola madrasah.
3. Baik madrasah pra Nizamiyah maupun pasca Nizamiyah, kedua-duanya lebih merupakan sekolah agama, yaitu sekolah yang terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu agama, terutama pengajaran ilmu hadis dan fiqih. Bahkan jenis pengetahuan yang diajarkan tersebut cenderung terbatas pada salah satu madzhab saja sehingga sering pula disebut sekolah madzhab terutama pada madrasah pra Nizamiyah. Sedangkan pada masa pasca Nizamiyah, pengetahuan agama yang diajarkan cenderung tidak lagi terbatas pada madzhab tertentu, tetapi juga diajarkan madzhab-madzhab lainnya.
4. Kecenderungan sistem pendidikan seperti madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama yang hanya terbatas pada madzhab tertentu menghasilkan lulusan yang memiliki keilmuan terbatas pula. Pengetahuan mereka terbatas pada madzhab yang telah dipelajari sehingga cenderung menjadi penerus atau pengikut suatu madzhab. Hal ini karena mereka biasanya mempunyai ikatan yang kuat terhadap gurunya dan merasa mempunyai kewajiban untuk menyampaikan apa yang telah diajarkan oleh gurunya.

Daftar Pustaka

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 584.
Mansoor Quraishi dalam Some Aspects of Muslim Education, (Lahore: Universal Book, 1983), h. 26
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 32-105
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 47
al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 68
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (Netherland: E.J. Brill, 1961), h. 303
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains (sebuah Pengantar) dalam pengantar terjemahan dari Charles Michael Stanton, Higher learning in Islam : the classic period A.D. 700-1300. Terjemahan Pendidikan tinggi dalam Islam oleh Affandi, Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), h. vi
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994), h. 36-37
Abdurrahman al-Baghdadi Sistem Pendidikan di Masa Khalifah (Jakarta: Al-Izzah, 1996), h. 79-80
Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 52
John L. Esposito (ed.), The Oxford encyclopedia of the modern Islamic world, Vol. 3 , (New York: Oxford University Press, 1995
George Makdisi, The Rise of Colleges; institutions of learning in Islam and West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 61.
Hasan Asari, Menyingkap zaman keemasan Islam: kajian atas lembaga-lembaga pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994), h. 51-55
Hamid Hasan Bilgrami & Sayyid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), h. 45
Charles Michael Stanton, Higher learning in Islam : the classic period A.D. 700-1300. Terjemahan Pendidikan tinggi dalam Islam oleh Affandi, Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), h. 47

Komentar

  1. Casino Wylde, MS - Mapyro
    Casino Wylde, MS is a casino near 김해 출장마사지 Memphis, TN, United States 영천 출장샵 and is 이천 출장안마 open daily 의왕 출장샵 24 hours. The casino is 수원 출장샵 open daily 24 hours. The casino website has 631 slot

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Iqra' dan Kepustakawanan Islam

  “ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. 96: 1-5). Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT.   sebagai agama bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran agama Islam yang sumber pada wahyu baik berupa al-Qur’an maupun hadits diyakini telah memuat ajaran-ajaran yang bersifat konprehensif dan universal. Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan berlaku sepanjang zaman. Selanjutnya hadits-hadits Nabi menjadi penjelasan ( al-bayan ), penguat ( al-ta’kid ), dan pemberi rincian ( al-tafshil ) pelaksanaan ajaran agama. Karakteristik komprehensifitas (kemenyeluruhan) al-Qur’an tersebut bukan berarti sumber-sumber pokok ajaran Islam tersebut telah mengatur se

Dunia Perbukuan Pada Masa Kejayaan Islam

Oleh : Agus Rifai Pustakawan Madya pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tradisi kepustakawanan tidak dapat dilepaskan dari dunia perbukuan. Buku merupakan salah satu bentuk media penyimpan informasi yang paling banyak dikenal masyarakat, dan merupakan salah satu jenis koleksi yang paling mendominasi di berbagai perpustakaan. Demikian pula dalam sejarah perpustakaan, buku merupakan sumber awal tumbuh dan berkembangnya perpustakaan-perpustakaan tanpa kecuali di dunia Islam.

Bibliografi Sebagai Suatu Pendekatan Keilmuan : Mengenal Kitab Al-Fihrist Karya Ibn Nadim

Abstrak Ibn Nadim merupakan salah satu tokoh yang mengenalkan suatu pendekatan studi Islam dengan caranya sendiri. Karyanya Kitab Al-Fihrist merupakan karya yang berusaha memahami dan sekaligus mengenalkan Islam melaui pendekatan bibliografis, yaitu kajian survey dan pencatatan terhadap literatur keislaman yang berkembang di dunia Islam, baik tentang materi ajaran Islam maupun tentang materi yang lain sebagai karya pencapain umat Islam. Karya ini setidaknya menggambarkan dua hal pokok, yaitu pertama menunjukkan tingkat pemahaman dengan berbagai difrensiasinya terhadap ajaran Islam, dan kedua menunjukan peta perkembangan dan pencapaian keilmuan umat Islam pada suatu masa tertentu.