Langsung ke konten utama

Dunia Perbukuan Pada Masa Kejayaan Islam

Oleh :
Agus Rifai
Pustakawan Madya pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tradisi kepustakawanan tidak dapat dilepaskan dari dunia perbukuan. Buku merupakan salah satu bentuk media penyimpan informasi yang paling banyak dikenal masyarakat, dan merupakan salah satu jenis koleksi yang paling mendominasi di berbagai perpustakaan. Demikian pula dalam sejarah perpustakaan, buku merupakan sumber awal tumbuh dan berkembangnya perpustakaan-perpustakaan tanpa kecuali di dunia Islam.


A. Kondisi Penerbitan Buku Di Dunia Islam
Buku mempunyai peran penting dalam kegiatan penyebarluasan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan yang pernah dicapai umat Islam pada masa klasik tidak terlepas dari kegiatan penyusunan atau penerbitan buku-buku sebagai medianya.
Sebelum membahasa tentang kondisi dunia perbukuan di dunia Islam pada masa klasik, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian buku. Menurut Azami [2000: 511], ahli-ahli hadits di samping memakai istilah “kitab” dan “shuhuf”, juga memakai istilah-istilah lain seperti “daftar”, “kurrasah”, “diwan”, “tumar”, “darj”, dan lain-lain. Istilah-istilah seperti “daftar”, “kurrasah”, “diwan”, “kitab” dan “shuhuf”, menunjuk pada lembaran alat tulis yang bentuk luarnya mirip buku seperti sekarang, sedangkan “tumar”, “darj”, umumnya menunjuk pada benda segi panjang yang dapat digulung, atau bundelan kertas yang terdiri dari beberapa bagian [ Azami menyebutkanya dua puluh bagian], di mana satu sama lainnya saling menempel.
Kegiatan penulisan buku itu sendiri telah dimulai sejak awal bersamaan dengan tradisi penulisan yang mulai berkembang dengan kelahiran agama Islam. Azami [ 2003: 129] menyebutkan bahwa pada abad pertama Hijriah, ratusan buku kecil tentang hadis sudah beredar, dan pada abad kedua jumlahnya minimal jumlahnya sudah ribuan. Menurutnya, Zaid bin Tsabit [w.45 H], seorang juru tulis Nabi SAW, sejak pertengahan abad pertama Hijriah telah memiliki buku kecil mengenai fara’idl yang berisi berbagai masalah hukum atau yuridis seperti perkawinan, talak, ganti rugi bagi korban, dan seterusnya.
Umumnya buku-buku tersebut yang berasal dari lembaran-lembaran yang kemudian disatukan sebuah buku. Menurut keterangan dari al-Wakidi, Ibn Sa’d, al-Baladzuri, al-Tabari dan al-Bukhari seperti dikutip Sardar [2000: 162] menyebutkan bahwa Urwa Ibn al-Zubari [w. 712/713] disebutkan sebagai orang pertama yang mengumpulkan buku-buku dari halaman-halaman lepas. Kemudian muridnya yang bernama Imam al-Zuhri [w.742] mengumpulkan buku-buku yang berasal dari gurunya dan dari sumber-sumber yang lain di rumahnya. Al-Amash Abu Muhammad Sulaiman Ibn Mihran.
Meskipun demikian, buku-buku pada masa awal Islam tidak diketahui secara pasti bahan-bahan yang digunakan ; apakah sudah menggunakan kertas atau belum. Menurut Azami [2000: 510], terdapat beberapa pendapat tentang ditemukannya atau berkembangannya kertas di dunia Islam sebagai alat tulis. Kertas atau “auraq bardiyah” telah dikenal oleh bangsa Arab sebelum agama Islam lahir, dan kata kertas [qirtas] sendiri disebut dalam al-qur’an, dan dipakai oleh orang-orang jahiliyah dalam syair-syairnya, akan tetapi tidak didapati keterangan yang pasti apakah kertas sudah dipakai untuk menulis al-Quran dan hadits-hadits pada masa Nabi SAW atau tidak.
Pada masa kejayaan atau keemasan Islam klasik, dunia perbukuan mengalami perkembangan yang mengagumkan. Kegiatan penulisan dan penerbitan buku tumbuh subur di dunia Islam. Khalifah Daulah Abbasiyah, terutama Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya Al-Makmun dikenal sebagai khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, serta melindungi perkembangan seni dan penrbitan buku. Pada masa kedua khalifah ini dunia penulisan dan penerjemahan berkembang sangat pesat. Kota Baghdad tidak semata-mata menjadi pusat Ibu Kota Pemerintahan akan tetapi juga sebagai pusat kebudayaan dan peradaban yang terkenal di manca negara selama beberapa abad. Perkembangan industri buku yang demikian pesat telah memunculkan lahirnya toko-toko buku dan perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam. Menurut catatan Stanton [ 1994: 162], selama kejayaan khalifah Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di wilayah Timur tengah, dan peran pentingnya menyebar ke seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Iberia. Sebelum perusakan yang dilakukan oleh pasukan Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku. Kota-kota seperti Sharaz, Mosul, basrah, kairo, Kordova, Fez, Tunis, dan kota-kota lainnya juga telah menambah dan melibatgandakan jumlah toko buku di dunia Islam. Bahkan toko-toko buku tersebut juga berfungsi sebagai tempat pengkajian masalah-masalah keilmuan dan keagamaan.
Di samping toko buku, perkembangan industri buku juga telah menumbuh suburkan berdirinya perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam. Penelitian yang dikemukakan oleh Nakosteen [ 1996: 93] menyebutkan bahwa di wilayah Timur dari Baghdad samapi Nishapur sebelum perusakan bangsa Mongol terdapat tiga puluh enam perpustakaan besar yang dibanggakan, seperti Perpustakaan Umar al-Waqidi, Perpustakaan baitul Hikmah dari al-Makmun, Perpustakaan Darul Ilmi dari Ardhesir (seorang Perdana Menteri), Perpustakaan sekolah Tinggi Nizamiyyah, Perpustakaan Sekolah Mustansiriyah, Perpustakaan al-Baiqani, Perpustakaan Muhammad Ibn Husain dari haditsa, Perpustakaan Ibn Kamil, dan lain-lain. Perpustakaan-perpustakaan tersebut juga tidak semata-mata menjadi tempat penyimpanan dan peminjaman buku-buku, akan tetapi juga menjadi pusat-pusat studi atau lembaga pendidikan.
Menurut Abdul Hadi W.M. [2000: 203-204], terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ilmu dan penulisan buku di dunia Islam berkembang sangat pesat. Pertama, pada masa ini terdapat hubungan yang dinamis antara kebudayaan Arab dengan kebudayaan lain yang telah maju sebelum datangnya agama Islam seperti Mesir Kuno, Babylonia, Yunani, India, persia dan Cina. Kedua, sejak abad ke-9 di negeri-negeri Islam telah tumbuh pusat-pusat kebudayaan yang satu dengan yang lain saling berlomba mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan seperti Madinah, Mekkah, Fustat, Qairawan, Baghdad, Cordova, Damskus, Kufah, Basrah, Nisyafur, Isfahan, dan lain-lain. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan mengikuti perkembangan masjid dan lembaga keagamaan. Keempat, raja-raja muslim, amir, bangsawan kaya, saudagar dan menteri-menteri yang berpengaruh memberikan dorongan dengan dana yang melimpah bagi perkembangan penulisan dan penerbitan buku. Kelima, terdapat kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh undang-undang. Iklim kebebasan ini telah mendorong munculnya para pecinta buku. Di samping itu juga telah mendorong pemerintah dan pihak swasta atau pribadi-pribadi mendirikan perpustakaan. Keenam, terbongkarnya rahasia pembuatan kertas di Cina melalui tawanan-tawanan Cina yang tertangkap di Samarqand dalam beberapa pertempuran antara Baghdad dan negeri Cina. Pada Tahun 800 M, khalifah Harun al-Rasyid meresmikan pembangunan pabrik kertas pertama terbesar di dunia Islam, dan merupakan pabrik kertas terbesar di luar Cina. Menurut Pedersen [1996: 90], pada abad kesebelas dan dua belas, pembuatan kertas di dunia Islam tidak hanya terbatas di kota Samarkand dan Baghdad, akan tetapi juga di wilayah Mesir, Syiria, Palestina, Afrika Utara, Spanyol, Tabriz (Persia).
Dengan ditemukannnya cara-cara pembuatan kertas menyebabkan industri perbukuan berkembang sangat pesat. Dunia penerbitan buku yang semula mengandalkan media penulisan berupa lontar atau perkamen, maka dengan ditemukannya kertas maka para penulis mulai beralih menggunakan kertas yang kualitas lebih baik, dan lebih mudah dalam penulisannya. Pada masa Daulah Abbasiyah, dengan ditemukannya kertas jumlah buku yang ditulis dan diterbitkan berlipat ganda. Tidak sedikit buku-buku yang diterbitkan itu tergolong buku-buku yang tebal yang dijilid dengan baik.
Demikianlah kondisi dunia penerbitan buku yang berlangsung di dunia Islam pada masa klasik Islam. Buku menjadi bagian penting dalam perkembangan agama Islam karena buku merupakan salah satu media yang dapat dijadikan media dalam penyebarluasan ajaran-ajaran Islam dan penyebarluasan ilmu pengetahuan. Bahkan, buku juga merupakan lambang prestise [kebanggaan] bagi seseorang.

B. Penghargaan Umat Islam terhadap Buku
Dunia perbukuan di dunia Islam dimulai dengan sikap umat Islam terhadap buku. Dalam sejarah Islam, buku memperoleh tempat yang istimewa di kalangan umat Islam. Kaum muslimin sangat menghargai buku sebagaimana menghormati penulis atau pengarangnya. Penghargaan umat Islam terhadap buku ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang berasal dari ajaran Islam. Dalam salah satu karyanya The Arabic Book, J. Pedersen [1996: 15] berkata : “buku di dunia Arab berakar dari Islam. Kenyataan ini memberi ciri khas yang dibawanya”. Bahkan, menurutnya, al-Qur’an sebagai sumber ajaran agamanya mereka namakan dengan “al-kitab”, yang berarti buku. Istilah kitab sendiri bagi bangsa Arab menunjukkan makna yang umum sebagai sebuah buku dan juga bentuk-bentuk lainnya, panjang maupun pendek, baik merupakan sebuah surat atau tulisan, dokumen, atau lainnya [J. Pedersen, 1996: 26].
Penghargaan umat Islam terhadap buku berkaitan erat dengan penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan. Islam sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya sangat menghargai ilmu pengetahuan, dan karenanya juga menghargai sarana yang digunakan untuk menyimpan atau melestarikan serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Buku merupakan salah satu sarana penting dalam kegiatan pelestarian dan penyebarluasan ilmu pengetahuan. Surat al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai wahyu pertama mempunyai kandungan yang mendalam berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Tidak mungkin ilmu pengetahuan berkembang tanpa didahului oleh perkembangan tradisi mengarang dan menulis. Pengertian al-qalam [pena] sebagaimana dimaksud dalam surat al-‘Alaq ayat 4 merupakan segala macam alat tulis menulis, termasuk mesin tulis dan cetak yang canggih sekalipun [Shihab, 1993: 168]. Buku merupakan salah satu bentuk media tulisan dan juga media cetak seperti digambarkan dalam surat al-‘Alaq tersebut.
Demikian pula ayat-ayat lainnya dalam al-Qur’an yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, dan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Keutamaan manusia di antara makhluk lainnya termasuk para malaikat adalah karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 34 Allah SWT. memuliakan Nabi Adam AS di antara makhluk lainnya sebagai berikut :





“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam !” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir"”.
Prof. Dr. Quraish Shihab [2000: 152] dalam buku Tafsir al-Mishbah menjelaskan tafsir ayat tersebut dengan menyatakan bahwa ayat ini menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berpengetahuan. Selanjutnya beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa ayat berikutnya yang mempersilahkan Adam dan pasangannya tinggal di surga, menjadi isyarat tentang kewajaran ilmuwan dan keluarganya untuk mendapat fasilitas yang memadai dalam rangka untuk lebih mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itulah dalam ayat lain, yaitu surat al-Mujadalah ayat 11, Allah SWT. SWT secara jelas memberikan kedudukan yang tinggi bagi orang yang berilmu pengetahuan dengan berfirman-Nya sebagai berikut :





“...Niscaya Allah SWT. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah SWT. Mahateliti apa yang kamu kerjakan”. (QS 58: 11).

Di samping, rujukan-rujukan tekstual dogmatif tentang penghargaan Islam terhadap buku-buku. Banyak riwayat-riwayat yang menceritakan kecintaan para ulama atau ilmuwan muslim terhadap buku. Seorang wazir pada masa Daulah Abbasiyah yang bernama Muhammad Bin Abdul Malik al-Zayyat diceritakan pernah mengasingkan diri di rumahnya untuk beberapa waktu untuk membaca atau mendalami buku-buku. Ia bahkan sangat senang ketika diberi hadiah berupa buku dari pada hadiah dalam bentuk materi lainnya. Al-Jahiz pernah memberikannya hadiah buku karya Imam Sibawaih tentang Bahasa Arab, dan ia berkata kepada al-Jahiz; “Demi Allah SWT. , tidaklah engkau memberikan hadiah kepadaku yang lebih kusukai selain buku”. [Al-Siba’I, 2002: 203].
Dalam suatu riwayat lain diceritakan oleh Al-Siba’i [2002: 204] bahwasanya ada seorang khalifah yang meminta kepada seorang ulama untuk berbincang-bincang. Khalifah kemudian menyuruh salah seorang pelayan untuk menemui ulama yang dimaksudkan oleh khalifah tersebut. Ketika pelayan sampai di rumah sang ulama, ia mendapati sang ulama sedang duduk dikelilingi buku-buku yang tengah dibaca. Sang pelayan kemudian menyampaikan pesan kepada sang ulama tersebut bahwa Amirul mukminin mengundangnya ke istana. Ulama itu menjawab dengan berkata : “Katakan kepada khalifah bahwa aku sedang bercakap-cakap dengan para ahli hikmah. Jika sudah selesai, akau akan datang”. Si pelayan kemudian pulang dan menyampaikan pesan ulama kedapa khalifah. Khalifah kemudian bertanya kepada pelayan, “Hai pelayan, siapakah ahli-ahli hikmah yang dihadapi ulama itu ? ”. Pelayan menjawab, “Demi Allah SWT. , wahai Amirul Mukminin, saya tidak melihat seorang pun berada di rumah ulama.” Mendengar penuturan si pelayanan, khalifah berkata, “Kalau begitu, suruh dia [ulama] datang sekarang juga bagaimana pun keadaannya!”. Tatkala sang ulama datang, khalifah bertanya kepadanya, “Wahai ulama, siapa ahli-ahli hikmah itu ? Sang ulama menjawab, “Mereka adalah teman duduk yang pembicaraannya tak membosankan, jujur dan bisa dipercaya. Mereka adalah sebaik-baik teman pembicaraan, pembantu utama untuk menghilangkan segala maca kesusahan. Mereka memberi kita ilmu tentang masa lalu, berupa pemikiran dan pendidikan, juga pendapat dan kepemimpinan. Tak ada keraguan yang dikuatirkan, tidak pula ada kejelekan saat bergaul dengannya, Kita tidak taku kepada mereka, baik lidah maupun tangan. Jika kau katakan mereka mati, tidaklah negkau berdusta, jika kau katakan mereka hidup, tidaklah engkau keliru.” Mendengar penuturan ulama tersebut, barulah khalifah tahu bahwa yang dimaksud ahli-ahli hikmah itu adalah buku-buku ulama dan hukama sehingga khalifah tidak menyalahkan keterlambatannya.


C. Proses Penerbitan Buku
Dalam ajaran Islam, ilmu pengetahuan mendapat kedudukan yang terhormat. Konsep ilmu dalam ajaran Islam merupakan konsep yang distributif, yaitu bahwa ilmu tidak boleh dimiliki oleh pribadi-pribadi tertentu atau bersifat elitis, akan tetapi harus disebarluaskan guna kemaslahatan manusia. Agar ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan atau digunakan dari generasi ke generasi berikutnya maka ilmu tersebut harus disimpan atau dilestarikan. Buku merupakan salah satu sarana terpenting dalam pelestarian dan penyebarluasan ilmu pengetahuan.
Pada masa keemasan Islam, dunia perbukuan juga mengalami perkembangan yang sangat menakjubkan yang ditandai dengan banyaknya upaya-upaya penerbitan buku. Di samping proses penerbitan buku yang memerlukan waktu yang cukup lama, buku-buku yang terbit di dunia Islam memiliki karakteristik yang khas.

1. Proses Penerbitan Buku
Sebelum ditemukannya mesin pencetak, proses penerbitan buku dilakukan secara manual, yaitu ditulis tangan. Oleh karena itu dalam proses penerbitan buku sering kali memerlukan waktu yang cukup lama, dan harga suatu buku juga dapat sangat mahal. Berkaitan dengan proses penerbitan buku, Pedersen [1996: 41] mengemukakan sebagai berikut :
“Kata bahasa Arab untuk publikasi mempunyai arti “mengeluarkan” (kharraja atau akhraja), dan “keluar” (kharaja) juga dapat berarti “diterbitkan”. Prosedurnya agaak lebih rumit dari pada yang ada di zaman kita, buku Islam (al-Qur’an) dibuat dengan tulisan tangan”.
Meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi umat Islam untuk menulis dan menerbitkan buku. Pada zaman Abbasiyah, menurut Abdul Hadi [2000: 208], jumlah buku yang ditulis dan diterbitkan berlipat ganda, begitu pula jumlah perpustakaan dan toko buku. Tidak sedikit buku-buku yang diterbitkan itu tergolong buku tebal yang dijilid dengan baik dan dijual dengan harga yang sangat mahal.
Proses penulisan dan penerbitan buku dilakukan dalam beberapa, yaitu mencakup kegiatan pembacaan atau pendiktean [imla], pembahasan, pemeriksaan [editing], pembacaan kedua, dan pengesahan [ijazah], penyalinan atau penggandaan.

1). Pendiktean [Imla]
Proses penerbitan suatu buku diawali dengan pendiktean atau disebut imla’ yang dilakukan oleh pengarang buku. Kegiatan pendiktean ini biasanya dilakukan dalam masjid atau suatu majlis pengajian atau lingkaran studi [khalaqah]. Pendiktean ini juga merupakan sarana untuk publikasi awal secara lebih luas. Pada waktu pendiktean, pendikte [pengarang buku] duduk bersila seperti yang dilakukan sampai sekarang ini di masjid-masjid, sementara para pendengarnya duduk melingkar [khalaqa] di hadapannya dengan sikap yang sama. Dalam proses pendiktean, seorang pengarang biasanya mempunyai seorang asisten yang disebut mustamli yang duduk didekatnya, dan bertugas mencatat semua karya gurunya. Menurut Azami [2000: 491], di samping mencatat, seorang mustamli juga menjadi ‘penyambung atau pengeras suara’ bagi sang guru (pengarang) yang bertugas mengulang kalimat-kalimat yang diucapkan guru dengan suara yang keras. Hal ini dilakukan agar seluruh murid atau audiens dapat mendengar imla’nya. Apalagi pada saat itu belum terdapat alat pengeras suara. Di antara mustamli tersebut adalah Adam bin Abu Iyas yang menjadi mustamli bagi Syu’bah, Isma’il bin ‘Ulayah yang menjadi mustmali bagi Malik, dan Sibawaih yang menjadi mustmali bagi Hammad bin Salamah.
Pendiktean ini dapat didasarkan atas catatan atau naskah awal dari pengarang buku, dan atau berupa ucapan-ucapan yang langsung keluar dari ingatan seorang pengarang. Menurut J. Pedersen [1996: 44] terdapat banyak para pengarang islam yang mendiktekan karyanya langsung dari ingatannya. Al-Nisaburi mendiktekan komentarnya tentang al-qur’an langsung dari ingatannya, dan ketika beliau wafat ditemukan 4 jilid dari hasil karyanya yang tersimpan di perpustakaan pribadinya. Al-Bawardi, ahli filologi, juga mendiktekan langsung dari ingatannya tentang masalah linguistik sebanyak 30.000 halaman. Demikian pula Ibn Quthiya dari Spanyol telah mendiktekan secara langsung dari ingatannya karyanya tentang sejarah Spanyol. Cara-cara pendiktean langsung dari ingatannya tersebut bukanlah hal aneh bagi orang Arab yang telah terbiasa melaltih ingatannya. Mereka berkata kepada orang-orang Eropa bahwa “Ilmu anda ada dalam buku, tetapi ilmu kami ada dalam hati”. Pada pendiktean melalui tulisan, maka tentu saja pertama-tama penulis itu sendiri yang mendiktekan naskahnya, dan baru kemudian manuskrip hasil pendiktean. Naskah asli atau awal atau draft dari penulis lazim disebut muswadda [menjadi hitam], sedangkan manuskrip hasil salinan disebut sebagai mubyadda [menjadi putih]. Bagi para pecinta buku, draft ini menjadi daya tarik tersendiri karena dipandangnya mempunyai nilai khusus, terutama karena nilai orisinalitasnya.
Kadang-kadang pendiktean suatu karya tidak dapat diselesaikan karena adanya suatu alasan tertentu. Bahkan, suatu karya tidak selesai didiktekan karena penulisnya meninggal dunia sebelum selesai mendiktekannya. Menurut satu riwayat, Ibn Asakir telah menyelesaikan tujuh diskusinya tentang sejarah awal Islam, kemudian ia berhenti untuk mendiktekan karyanya tersebut, dan ganti memberikan kuliah tentang kualitas bangsa Yahudi yang patut dicela. Al-Thabari juga mendiktekan karya-karyanya yang tidak sampai selesai. [J. Pedersen, 1996: 43].


2). Pembahasan
Dalam proses pendiktean suatu karya, seorang pengarang atau penulis menyampaikan karyanya dihadapan khalayak umum. Kegiatan pendiktean ini biasanya dibarengi dengan kegiatan tanya jawab atau diskusi untuk memperoleh tanggapan dari para audien. Kegiatan ini berlangsung di suatu majlis atau masjid sehingga membuat suasana masjid penuh dengan gemuruh. Dalam suatu diskusi suatu topik dapat saja terjadi perdebatan antara pengarang dengan masyarakat auidens yang mengikutinya yang mengakibatkan proses pendiktean terhenti atau tidak dapat diselesaikan. Menurut J. Pedersen [2000: 42], al-Thabari pada suatu hari harus menghentikan suatu diskusi yang diadakannya karena ia mempunyai ide atau pendapat yang bertentangan dengan masyarakat sehingga ia tidak dapat menyelesaikan pendiktean dari karyanya.
Dari hasil pembacaan atau pendiktean naskah awal ini dan diskusi yang berkembang, kemudian seorang pengarang memberikan catatan-catatan untuk penyempurnaan suatu karya. Abu Muhammad al-Saffar, seorang mustamli, harus berulang-ulang membuat tambahan-tambahan yang melebih dari naskah awal suatu karya dari pengarang yang bernama Abu Umar al-Mutharriz tentang filologi [J. Pedersen, 2000, 47]. Hasil penambahan-penambahan tersebut kemudian dibacakan kepada pengarang, dan kemudian dibacakan lagi kepada masyarakat.


3). Pemeriksaan [editing]
Untuk memastikan bahwa suatu tulisan sudah benar-benar betul maka terlebih dahulu harus diperiksa. Pemeriksaan dapat saja merupakan bagian dari pembahasan terhadap suatu karya, dan dapat merupakan pembacaan dari seorang mustamli tentang yang ditulisnya dari seorang pengarang. Menurut Azami [2000: 499], terdapat dua cara pemeriksaan yaitu pertama seorang murid mengoreksinya sendiri dengan bantuan kawan-kawannya, atau mengoreksinya dengan bantuan gurunya. Suatu karya sebelum disyahkan oleh pengarang yang bersangkutan akan dibacakan lagi kepada masyarakat ramai, dan masyarakat akan memberikan tanggapan atau koreksi terhadap apa yang dibacakan. Masyarakat akan mengikuti dan menyimak pembacaan tersebut dengan catatan-catatan mereka. Dalam pengertian kedua di mana seorang mustamli membacakan suatu catatan atau tulisan tentang apa yang didiktekan oleh pengarang, maka ia akan membacakan catatannya tersebut dihadapan pengarang, dan kemudian pengarang mendengar dan menyimaknya atau memeriksan pembacaan dari mustamli tersebut.

4). Pembacaan Kedua
Sebelum suatu karya disyahkan oleh pengarangnya, dan setelah suatu karya selesai diperiksa atau dikoreksi oleh seorang guru atau pengarang maka karya tersebut kemudian dibacakan sekali lagi di hadapan pengarang dan dihadiri oleh khalayak ramai atau masyarakat. Jika masih terdapat kekurangan maka akan dilakukan perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan sehingga mencapai bentuknya yang sempurna.



5). Pengesahan [ijazah]
Setelah suatu karya dibacakan untuk kedua kalinya dan dipandang telah selesai atau sempurna, selanjutnya seorang pengarang memberikan pengesahan [Ijazah] terhadap karya tersebut. Istilah ijazah ini berasal atau banyak digunakan dalam ilmu hadits, yaitu pada proses periwayatan hadits atau tahammul al-hadits. Menurut Azami [2003: 50], ijazah berarti mengidzinkan seseorang menyampaikan hadits atau kitab berdasarkan otoritas ulama yang memberi idzin. Kemudian istilah ijazah digunakan dalam arti yang luas yang meliputi pemberian idzin menyampaikan suatu ilmu atau pengesahan terhadap suatu karya untuk disebarluaskan. Dalam hal penerbitan buku, pengarang memberikan pengesahan atau ijazah ini pada salinan yang telah dibuatnya. Pengesahan ini menunjukkan bahwa ia telah memberikan idzin untuk menerbitkan buku itu dalam bentuk yang disetujui.
Jika pengarang telah memberikan pengesahannya, maka ini berarti bukan saja penyalin mendapat jaminan kepemilikan buku itu dalam bentuk yang ditentukan oleh pengarangnya, akan tetapi juga pada gilirannya ia juga berhak menyampaikan buku tersebut dalam bentuk yang sama. Barangsiapa diberi hak seperti itu maka ia pun berhak memberikan hak tersebut kepada orang lain dengan syarat ia merasa yakin bahwa catatan mereka sesuai dengan catatannya. Artinya bahwa ia telah berhak memberikan pengesahan pada orang lain yang memiliki catatan yang benar-benar sama dengan catatannya. Hal ini dilakukan setelah si pemiliki catatan membacakannya pada pemilik ijazah, dan kemudian baru memberikan ijazah untuk salinan tersebut. Jaminan kesalian salinan ini merupakan mata rantai ijazah yang tak terputus sampai ke pengarangnya sendiri.

6). Penyalinan atau Penggandaan.
Berbeda dengan penggandaan buku pada masa sekarang, penggandaan buku sebelum ditemukannya mesin cetak dilakukan secara manual dengan cara ditulis ulang atau disalin sesuai dengan jumlah yang diperlukan. Itulah sebabnya buku-buku pada masa klasik harganya sangat mahal karena untuk menyalin atau menulis ulang suatu buku diperlukan waktu yang lama, dan memerlukan ketelitian dari seorang penyalin. Para penyalin buku ini bukanlah pengarang buku yang bersangkutan, tetapi dilakukan oleh orang lain. Pada masa klasik pekerjaan menyalin buku merupakan salah satu profesi yang ditekuni oleh sebagian kalangan masyarakat muslim yang disebut warraq. Para penyalin buku ini bahkan mempunyai kedudukan dan mendapatkan apresiasi yang tinggi di kalangan masyarakat.
Menurut J. Pedersen [1996: 65], seorang yang bernama Yahya ibn ‘Adi mencari nafkah sebagai penyalin. Ia telah menyalin antara lain buku tafsir al-Thabbari sebanyak dua kali. Ibn al-Nadim, penulis kitab al-fihrist, juga pernah menggeluti profesi penyalin. Para penyalin ini bekerja untuk para pengarang, pejabat tinggi, serta orang-orang kaya yang ingin membangun perpustakaan. Isma’il ibn Sabih, seorang pejabat tinggi pada masa pemerintahan harun al-Rasyid, pernah memperkerjakan seorang warraq warraq yang bernama al-Atsram untuk menyalin buku-buku karya Abu Ubaydah. Al-Atsram tersebut diberi tempat tinggal tersendiri, dan untuk mempercepat pekerjaannya ia meminta bantuan penyalin lainnya untuk membantunya. Khalifah al-Ma’mun juga meminta al-Farra untuk menulis atau mengarang suatu karya tentang bahasa. Untuk pekerjaan menulis atau mengarang, al-Ma’mun memberi tempat di salah satu apartemen di istananya dengan para pembantunya dan beberapa juru tulis atau penyalin seperti Salama ibn Ashim dan Abu Nashr Ibn al-Jahm untuk waktu beberapa tahun.


2. Etika terhadap Buku
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam ajaran Islam, buku mempunyai kedudukan yang mulia sama seperti pengarangnya. Oleh karena itu maka terdapat etika dalam memperlakukan suatu buku. Sebuah buku tidak boleh diletakkan di atas tanah, baik untuk disalin maupun dibaca. Buku harus diletakkan di tempat yang agak tinggi untuk melindungi buku dari kelembaban sehingga tidak merusak buku. Dalam menyimpan buku, buku-buku yang pokok isinya paling penting [asyraf] harus diletakkan di atas. Jika pokok isinya sama maka penyusunannya didasarkan atas pengarangnya masing-masing. Pengarang yang lebih penting atau lebih mulia diletaakkan di tempat yang atas. Kitab suci harus ditempatkan di atas semua buku yang lain, dan di tempat yang bersih. Berikut ini urutan penyusunan atau penmpatan buku seperti dikutip oleh Rosenthal [1996: 31] :
“.... Pertama, Al-Qur’an ; lalu kumpulan ekslusif kitab-kitab hadis sahih (kutub al-hadis alSyarif) seperti kitab-kitab hadis bukhari dan Muslim ; selanjutnya tafsir al-qur’an ; lalu komentar kumpulan-kumpulan hadis ; lalu kitab-kitab fikih ; lalu kitab-kitab tentang prinsip-prinsip agama [ushul al-din] dan fikih [ushul fikih] ; lalu buku-buku tata bahasa ; dan akhirnya buku-buku puisi Arab, prosodi dan ilmu-ilmu yang serupa atau berkaitan”.
Buku-buku yang berukuran besar hendaknya tidak diletakan di atas buku-buku yang berukuran kecil, agar tumpukkan buku tidak sering roboh. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa penyusunan buku-buku dilakukan secara horizontal, bukan vertikal seperti yang terlihat pada rak-rak buku di perpustakaan.
Buku-buku juga tidak boleh dijadikan tempat untuk menyimpan lembaran-lembaran kertas atau benda-benda lain yang serupa. Buku tidak boleh dijadikan bantal, kipas, sandaran punggung atau alas berbaring, atau untuk membunuh lalat. Pinggir atau sudut halaman buku tidak boleh dilipat seperti dilakukan kebanyakan orang untuk menandai batas bacaan. Dalam hal sebagai pembatas bacaan maka gunakanlah kertas atau yang serupa sehingga tidak merusak buku.
Dalam hal peminjaman buku, bagi peminjam sebagai pihak yang mengambil manfaat atas suatu barang atau bahan harus menjaga barang atau barang yang dipinjamnya. Frans Rosenthal (1996: 28-33) telah mengutip pendapat Ibn Jama’ah dan Al-Almawi dalam karyanya masing-masing “Tadzkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Ilm wa al-Muta’allim” dan “Mu’id fi Adab al-Mufid wa al-Mustafid”. Dalam kedua buku tersebut di dalam salah satu babnya menjelaskan berkenaan dengan etika informasi ini. Dalam karyanya tersebut antara lain disebutkan beberpa etika berkenaan dengan etika peminjaman buku, yaitu :
1. Pengguna atau peminjam buku hendaknya tidak berlambat-lambat mengembalikan buku tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan peminjam harus berterima kasih kepada orang yang meminjamkan. Apabila pemilik buku meminta untuk mengembalikannya, maka peminjam dilarang menahannya.
2. Peminjam tidak boleh membuat catatan-catatan terhadap buku yang dipinjam sekalipun hal tersebut merupakan koreksi atas isi buku, kecuali pemilik buku sengaja menyediakan halaman kosong untuk pengoreksian.
3. Buku pinjaman tidak boleh dipinjamkan pada pihak ketiga (orang lain).
4. Buku pinjaman tidak boleh disalin (digandakan) baik sebagian atau keseluruhan tanpa izin pemiliknya.
5. Ketika dikembalikan, buku harus diperiksa untuk menemukan catatan-catatan atau benda-benda penting yang mungkin tertinggal di dalamnya.
Di samping itu, dalam hal penulisan atau penyalinan buku maka seorang penyalin buku yang menylain penggalan-penggalan dari buku tentang masalah agama (syar’iy) harus suci dari hadas, dan menulisnya menghadap kiblat. Badan, pakaian, tinta serta kertas yang digunakannya juga harus bersih. Dalam penulisan buku maka setiap buku harus diawali dengan kalimat basmalah, serta ditutup dengan kalimat hamdalah dan shalawat atas Nabi SAW. Demikian pula dalam menulis kata atau lafadz Allah SWT. harus disertai penyebutan kalimat tashbih [Mahasuci Dia], takhmid[Yang Maha Terpuji], takbir [Yang Mahabesar], dan lain-lain sebagai sifat Allah SWT. Dalam menuliskan nama Nabi Muhammad juga harus disertai dengan kalimat shalawat (Shalla llahu ‘alaihi wa sallama). [Rosenthal, 1996: 34-35]
Demikianlah Beberapa ketentuan di dalam memperlakukan buku tersebut di atas merupakan suatu etika yang mengikat bagi pengguna atau peminjam buku.



3. Karakteritisk Buku
Dalam sejarah penerbitan buku di dunia Islam, buku-buku yang dihasilkan oleh para penulis muslim memiliki karakteritik yang khas, baik secara fisik maupun isi. Buku-buku yang diterbitkan di dunia Islam memiliki nilai seni (estetika) yang tinggi di samping juga sangat memperhatikan nilai-nilai moral keagamaan [etika].
Dari segi fisik, tulisan-tulisan yang digunakan untuk menulis suatu buku mendapat sentuhan kaligrafi yang indah. Kelahiran agama Islam telah melahirkan suatu seni tulisan atau kaligrafi. Kamil Al-Baba [1992: 51] melukiskan bagaimana hubungan Islam dengan kaligrafi dan sebaliknya. Menurutnya, kelahiran Islam telah melahirkan bentuk kesenian baru berupa kaligrafi, dan sebaliknya kaligrafi juga digunakan untuk kepentingan agama Islam. Orang-orang Arab sejak kelahiran Islam telah berpaling dari cara-cara menghias dengan patung-patung dan gambar kepada hiasan tulisan. Kekuatan seninya dikerahkan untuk mengembangkan penulisan mendapatkan keindahan bentuknya yang mempesona. Sebaliknya, dengan tulisan yang indah, kaligrafi telah menjadi perintis jalan untuk mengenal pengetahuan. Kaligrafi tidak hanya dipakai untuk menuliskan ayat-ayat suci al-Qur’an, akan tetapi untuk menulis karya-karya lainnya. Bahkan, menurut Ibn Khaldun seperti dikutip Sirojuddin [2000: 270] terkadang suatu buku ditulis dengan tinta emas sebagai lambang kebanggaan dan kebesaran suatu negara. Di samping itu, buku-buku terutama Kitab Suci al-Qur’an yang diterbitkan pada masa Islam juga memiliki dekorasi atau ornamen yang sangat indah pada pinggir buku.
Sedangkan dari segi non fisik atau isi, menurut Pedersen [1996 : 39], buku-buku muslim selalu dimulai dengan kalimat tasmiyah atau basmalah. Kemudian diikuti dengan pujian kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, keluarga Rasul, serta para sahabat. Biasanya para penulis atau pengarang mengungkapkan pujian dengan gaya bahasa yang sangat indah. Karakteristik permulaan buku yang diawali dengan kalimat basmalah ini sebenarnya menjadi bagian dari ajaran Islam yang menganjurkan pada setiap muslim untuk memulai sesuatu kegiatan termasuk dalam menyusun atau menulis buku dengan bacaan basmalah, sebab menurut Nabi SAW segala sesuatu atau kegiatan yang tidak dimulai dengan basmalah maka pastilah tidak akan sempurna.
Selanjutnya, sebelum penulis atau pengarang memulai suatu subjek maka biasanya terlebih dahulu dalam pengantarnya mengungkapkan kalimat-kalimat yang bersifat umum dengan disertai kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an yang dipilih dengan amat teliti untuk mendekati permasalahan sambil menarik perhatian pembaca kepada maksud yang dikandungnya. Dalam pengantarnya ini seorang pengarang juga menjelaskan alasan atau latar belakang ia menulis buku. Di samping alasan permintaan dari teman-temannya atau alasan lainnya, penulis buku memohon agar Allah SWT. melimpahkan berkah dan kekuatan kepedanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perpindahan dari satu pokok persoalan ke persoalan lainnya biasanya ditandai dengan ungkapan “amma ba’du” [Pedersen, 1996: 39].
Dalam hal pembuatan judul buku, para penulis muslim mempunyai kebiasaan memberikan judul-judul bukunya dengan kalimat yang mengandung nilai seni atau sastra yang tidak secara jelas menggambarkan isi yang dikandungnya. Misalnya, buku-buku karya Imam al-Ghazali seperti Fathul Qulub (pembuka hati), al-munqidz min al-dlalal (petunjuk dari kesesatan), Bahr al-Muhith [Lautan yang Dalam] karya Ibn Hayyan merupakan karya tafsir, al-Luma’ karya Anu Nashr al-Siraj al-Thusi, Kitab al-umm (buku induk) karya Imam Syafi’i, Al-syarh al-kabir (penjelasan agung) karya Ibn Qudamah, Kasyful mahjub (penyingkap tirai) karya Al-Hujwiri, dan lain-lain.
Dari segi ilmiah, buku-buku yang ditulis oleh para pengarang muslim juga telah memenuhi standar ilmiah, terutama berkenaan dengan pencantuman sumber-sumber literatur yang dirujuknya. Para pengarang muslim mempunyai sifat kejujuran yang tinggi untuk mengakui karya orang orang yang dikutipnya. Pola pengutipan literatur yang digunakan dalam menulis suatu buku menjadi bagian yang inheren dalam penulisannya melalui metode isnad. Metode ini awalnya digunakan dalam bidang periwayatan hadits, akan tetapi juga banyak digunakan para penulis muslim dalam menulis buku di bidang-bidang lainnya. Hal ini sekaligus membantah anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa buku-buku klasik Islam tidak mempunyai ciri ilmiah karena tidak menyebutkan sumber pengutipannya seperti tidak mencatumkan footnote atau daftar bibliografinya. Hanya saja yang perlu diketahui adalah bahwa metode pengutipan yang dilakukan oleh para penulis muslim masa klasik sangat dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi komunikasi lisan yang memang sangat kuat di dunia Arab. Biasanya para penulis akan mengungkapkan bahwasannya ia mendengar dari fulan, atau mengambil dari kitab fulan, atau meriwayatkan dari fulan, dan sejenisnya. Mata rantai ini seringkali cukup panjang yang terdiri dari sederetan ilmuwan yang menyampaikan informasi secara berturut-turut. Seorang penulis bertindak sebagai perantara atau rawi kepada penulis berikutnya. Inilah yang disebut sistem isnad.
Beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa buku-buku yang terbit di dunia Islam masa lalu tidak hanya memperhatikan pada kualitas fisik buku yang diciptakan, akan tetapi juga pada segi isi serta menjunjung tinggi etika ilmiah. Bahkan dengan melihat banyaknya karya-karya yang dihasilkan, misalkan satu buku yang mencapai puluhan dan bahkan terdapat sampai ratusan jilid dalam satu judul telah membuktikan kekuatan intelektual para ulama dan cendekiawan muslim. Pertanyaannya adalah mengapa mereka para ulama atau cendekiawan pada masa lalu sangat produktif dalam menghasilkan suatu karya ? Kita masih memerlukan kajian lebih lanjut. Akan tetapi, mereka para ulama dan cendekiawan muslim tersebut memiliki tingkat keikhlasan yang tinggi dalam menciptakan suatu karya. Mereka sangat menghargai ilmu pengetahuan, menjunjung tinggi ajaran tentang perlunya menyebarluaskan ilmu pengetahuan tersebut tanpa didasarkan atas kepentingan pribadi atau material. Disamping itu, mereka sangat menghargai nilai-nilai ilmiah suatu karya, dan berusaha menjadikan karyanya sebagai sesuatu yang tetap menarik untuk dibaca sehingga hingga sampai sekarang karya-karya tersebut masih tetap lestari dan bahkan banyak yang tetap relevan untuk kondisi kekinian. Wallahu a’lam bishawwab.





Daftar Pustaka

Shihab, M. Quraish. 1993. Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan.

Abdul Hadi W.M. 2000. Islam : Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Azami, MM. 2003. Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis. Jakarta: Lentera.

Azami, M.M. 2000. Hadis Nabawi dan sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Pedersen, J. 1996. Fajar Intelektualisme islam : Buku dan Sejarah penyebaran Informasi di Dunia Arab. Bandung: Mizan.

Rosenthal, Franz. 1996. Etika kesarjaan Muslim Dari Al-farabi hingga Ibn Khaldun. Bandung : Mizan.

Sardar, Ziauddin. 2000. “Peradaban Buku”. Dalam Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Baba, Kamil. 1992. Dinamika Kaligrafi Islam. Jakarta: Darul Ulum Press.
Al-Siba’i, Musthafa Husni. 2002. Khazanah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nakosteen, Mehdi. 1996. Kontribusi islam atas Dunia Intelektual Barat ; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Stanton, Charles Michael. 1994. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Jakarta: Logos.

Komentar

  1. assalamualaikum :)
    it is a nice blog sir. why dont post something new to your blog for this year?
    i eagerly to read it ASAP!
    good luck and God bless!

    BalasHapus
  2. Mampir pak.... Sukses selalu ya, Barokallah...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Iqra' dan Kepustakawanan Islam

  “ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. 96: 1-5). Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT.   sebagai agama bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran agama Islam yang sumber pada wahyu baik berupa al-Qur’an maupun hadits diyakini telah memuat ajaran-ajaran yang bersifat konprehensif dan universal. Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan berlaku sepanjang zaman. Selanjutnya hadits-hadits Nabi menjadi penjelasan ( al-bayan ), penguat ( al-ta’kid ), dan pemberi rincian ( al-tafshil ) pelaksanaan ajaran agama. Karakteristik komprehensifitas (kemenyeluruhan) al-Qur’an tersebut bukan berarti sumber-sumber pokok ajaran Islam tersebut telah mengatur se

Tentang Kepustakawanan Islam

Istilah kepustakawanan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, yaitu librarianship yang berasal dari kata librarian . Librarian   dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pustakawan, yaitu seseorang yang bekerja di perpustakaan atau petugas perpustakaan yang mendapat pendidikan ilmu perpustakaan (Neufeldt, 1996). Dengan merujuk pada pengertian ini sesungguhnya kepustakawan merujuk pada tugas-tugas atau kegiatan pustakawan dalam kaitannya dengan perpustakaan, atau kegiatan dalam upaya-upaya pelaksanaan tugas-tugas dan pengembangan perpustakaan.