“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar
(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
(QS. 96: 1-5).
Agama
Islam diturunkan oleh Allah SWT. sebagai
agama bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran agama Islam yang sumber pada
wahyu baik berupa al-Qur’an maupun hadits diyakini telah memuat ajaran-ajaran
yang bersifat konprehensif dan universal. Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran
Islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan berlaku sepanjang
zaman. Selanjutnya hadits-hadits Nabi menjadi penjelasan (al-bayan), penguat (al-ta’kid),
dan pemberi rincian (al-tafshil)
pelaksanaan ajaran agama. Karakteristik komprehensifitas (kemenyeluruhan)
al-Qur’an tersebut bukan berarti sumber-sumber pokok ajaran Islam tersebut
telah mengatur secara detail atau rinci terhadap seluruh ajaran agama, akan
tetapi dalam kasus tertentu hanya diberikan dasar-dasar atau landasan moral
atau etis dalam pelaksanaannnya.
Konsep tentang
kepustakawanan atau hal ikhwal tentang perpustakaan baik teori ataupun praktek
merupakan hal yang tidak secara jelas disebutkan dalam kedua sumber pokok
ajaran Islam. Meskipun demikian, dasar-dasar atau prinsip-prinsip serta
landasan etis tentang teori dan praktek kepustakawanan dapat ditemukan dalam
teks-teks agama, baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi.
Dalam kenyataannya di dalam sejarah Islam, umat Islam pernah mencapai masa-masa
keemasan di mana pada saat itu perpustakaan-perpustakaan tumbuh dengan subur di
berbagai kota baik kota kecil maupun kota besar di wilayah kekuasaan Islam. Hal
ini tentu bukanlah hal yang kebetulan, akan tetapi merupakan pancaran dari
pemahaman dan pengamalan umat Islam terhadap ajaran agama. Agama sebagai suatu
fitrah manusia akan membentuk pemahaman dan tindakan seseorang di dalam
kehidupan sehari-hari. Demikian pula tumbuh dan berkembangnya perpustakaan di
dunia Islam pada periode klasik tidak terlepas dari semangat yang bersumber
pada ajaran agama.
Dalam
kaitannya tersebut, al-Qur’an memang tidak secara eksplisit membicarakan
tentang konsep kepustakawanan karena ia bukanlah kitab ilmu perpustakaan.
Demikian pula Muhammad SAW diutus Allah SWT. bukanlah sebagai seorang
‘pustakawan’ yang mempunyai kompetensi di bidang ilmu perpustakaan atau bekerja
di perpustakaan. Muhammad SAW adalah seorang Nabi yang di dalamnya terdapat
suri tauladan bagi segenap umat manusia. Meskipun demikian, jika dicermati
lebih lanjut maka akan ditemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
yang memberikan isyarat tentang prinsip-prinsip kepustakawanan.
Salah
satu ayat al-Qur’an terpenting yang berkaitan erat dengan prinsip
kepustakawanan adalah ayat-ayat dalam surat al-‘Alaq yang merupakan wahyu
pertama. Wahyu pertama yang diterima
Nabi Muhammad SAW adalah lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq, yaitu
sebagai berikut:
“Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan
pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. 96: 1-5).
Dalam ayat-ayat tersebut Allah SWT. menyuruh Nabi Muhammad SAW supaya suka membaca
dan memperhatikan bukti kebesaran Allah SWT. Dalam kitab tafsirnya jilid IV,
Ibn Katsir (1994) menceritakan bahwa perintah membaca ini diulang oleh malaikat
Jibril sebanyak tiga kali, dan dijawab oleh Nabi bahwa ia tidak dapat membaca.
Setelah tiga kali menyuruh Nabi membaca dan tiga kali pula dijawab bahwa Nabi
tidak bisa membaca maka barulah malaikat Jibril meneruskan bacaan ayat
selanjutnya sampai lima ayat. DR. Abdul Halim Mahmud (1997) menjelaskan bahwa
ayat tersebut mengandung perintah untuk membaca sebagai suatu perantara untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan perintah membaca seperti
disebutkan dalam kandungan atau isi dari surat al-‘Alaq, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab (1997) menyatakan bahwa Iqra’
atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW. Kata (membaca) ini sedemikian pentingnya sehingga diulang dua
kali dalam rangkaian wahyu pertama. Bahkan membaca ini menjadi terasa lebih
penting lagi jika diketahui bahwa perintah tersebut ditujukan pertama kali
kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya
al-Qur’an (QS 29: 48), bahkan seorang yang tidak pandai membaca suatu tulisan
sampai akhir hayatnya.
Perintah membaca seperti yang
terdapat di dalam surat al-‘Alaq tentu tidak hanya ditujukan kepada Nabi
Muhammad SAW semata-mata, akan tetapi perintah tersebut bersifat universal yang
ditujukan kepada seluruh umat manusia. Membaca sebagai suatu ajaran agama dapat
memberikan manfaat dan keutamaan bagi seseorang di dalam kehidupannya.
Sebagaimana yang ditunjukkan pada bagian ayat berikutnya bahwa dengan membaca
akan memberikan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahuinya. Dengan membaca
seseorang akan bertambah pengetahuannya. Di dalam ajaran Islam, ilmu
pengetahuan merupakan salah satu keutamaan di mana seseorang yang mempunyai
ilmu pengetahuan akan mempunyai derajat yang tinggi. Dalam surat al-Mujadalah
ayat 11, Allah SWT. berfirman sebagai
berikut :
“...Niscaya Allah SWT. akan mengangkat
(derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat. Dan Allah SWT.
Mahateliti apa yang kamu kerjakan”. (QS 58: 11).
Membaca sebagai alat memperoleh ilmu
pengetahuan seperti dijelaskan di dalam surat al-‘Alaq tersebut memang tidak
disertai penjelasan ekslpisit tentang objek bacaannya. Objek atau sasaran dari
kegiatan membaca ini dapat berupa teks tertulis seperti ayat-ayat al-Qur’an dan
teks-teks tertulis lainnya maupun teks tidak tertulis yang berupa alam sekitar
atau disebut ayat-ayat kauniyah yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Prof.
Dr. Quraish Shihab (2003) di dalam buku Tafisr al-Mishbah jilid ke 15 menyebutkan bahwa ditinjau dari
segi kebahasaan maka objek dari perintah membaca dalam surat al-‘Alaq bersifat
umum, yaitu dapat berupa alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan
tertulis baik dalam bentuk kitab suci atau tidak. Perintah iqra’ dengan demikian dapat digunakan dalam berbagai pengertian
seperti membaca, menelaah, dan sebagainya tergantung dari objeknya. Lebih
lanjut, beliau menjelaskan tentang hikmah kata Iqra’ yang diulang dua kali dalam serta al-‘Alaq. Pengulangan tersebut mempunyai makna akan pentingnya membaca dan
terus meningkatkan minat baca. Bahkan, dalam perintah ‘membaca’ yang kedua, Allah SWT.
melanjutkannya dengan kata al-akram
(yang paling terpuji). Hal ini
mengandung pengertian bahwa Allah SWT.
dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi semua
hambanya yang membaca. Dengan membaca seseorang dapat memperoleh ilmu
pengetahuan sehingga ia akan memperoleh kedudukan yang terhormat sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Mujadalah tersebut di atas.
Meskipun
demikian, jika memperhatikan bagian ayat selanjtnya terutama pada ayat ke-4
dari surat al-‘Alaq tersebut, maka kegiatan membaca dari sumber-sumber atau
literatur tertulis merupakan bagian penting dalam kegiatan memperoleh ilmu
pengetahuan. Sumber-sumber tertulis merupakan salah satu sumber yang harus
dibaca manusia di dalam mendapatkan ilmu pengetauan. Menurut Prof. Dr. Quraish
Shihab (2003), kata qalam (pena)
seperti tersebut pada ayat ke-4 secara bahasa dapat berarti tulisan. Tulisan
merupakan hasil dari penggunaan pena, demikian disebutkan dalam buku Tafsir
al-Mishbah Jilid 15. Hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT. dalam surat al-Qalam ayat 1, yaitu sebagai
berikut :
“Nun.
Demi pena dan apa yang mereka tuliskan”. (QS 68: 1).
Ayat pertama dari
surat al-Qalam tersebut menjelaskan bahwa qalam
(pena) merupakan suatu alat tulis. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
surat al-Qalam ini diturunkan setelah lima ayat dari surat al-‘Alaq sebagai
wahyu pertama. Ini mengandung indikasi bahwa kata qalam dalam surat al-‘Alaq dan surat al-Qalam mempunyai kaitan yang
erat. Afif Abdul Fattah Thabarah (1996)
dalam buku Tafsir Juz ‘Amma menjelaskan tentang kata qalam dalam ayat 4 surat al-‘Alaq. Menurutnya, qalam (pena) sejak dahulu sampai
sekarang masih tetap merupakan sarana pengajaran dan penyebaran ilmu
pengetahuan yang paling utama. Hakikat ini masih belum tampak sekali ketika
masa permulaan Islam atau masa pertama diturunkannya al-Qur’an, akan tetapi
pada masa sekarang ketika ilmu-ilmu pengetahuan telah berkembang dengan
pesatnya maka qalam (pena) merupakan
sarana yang sangat penting.
Dalam
kegiatan ilmiah seperti dalam kegiatan pendidikan atau penelitian di bidang
ilmu pengetahuan, aktifitas membaca dan menelaah sumber-sumber literatur
tertulis baik bentuk tercetak maupun tidak tercetak mutlak diperlukan. Berbagai
penemuan ilmu pengetahuan pada umumnya telah dipublikasikan dalam berbagai
bentuknya tersebut. Penelitian terhadap
alam semesta tidak dapat dilepaskan dari kegiatan membaca dan menelaah terhadap
teks-teks tertulis, baik dalam bentuk media cetak seperti buku, jurnal, paper
atau makalah, dan laporan penelitian maupun non cetak kaset, video cassette,
CD-ROM, dan film. Suatu kegiatan penelitian ilmiah harus mendasarkan pada
kajian literatur yang telah ada, dan karenanya kegiatan membaca atau menelaah
literatur tertulis merupakan bagian yang inheren.
Dalam
kerangka ilmu perpustakaan, maka perintah membaca seperti ditunjukkan dalam
surat al-‘Alaq tidak hanya dilihat pada aspek kesesuaian dengan fungsi
perpustakaan sebagai sarana pembelajaran yang ditunjukkan pada adanya kegiatan
membaca dan menelaah sumber-sumber informasi atau literatur yang menjadi
koleksi perpustakaan dalam rangka meningkatkan pengetahuan, akan tetapi
perintah membaca tersebut dapat berarti anjuran untuk menciptakan atau
mendirikan sarana yang memungkinkan kegiatan membaca itu berlangsung. Artinya,
dalam perintah membaca terkandung makna bahwa Allah SWT. menghendaki sarana baca sehingga ajaran
membaca tersebut menjadi kenyataan yang pada gilirannya dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk kegiatan
membaca adalah perpustakaan. Dengan
demikian, mendirikan perpustakaan sebagai sarana baca, sarana pembelajaran
merupakan suatu manifestasi dari upaya untuk mewujudkan budaya membaca
sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Bahkan dalam salah satu kaidah hukum Islam (al-qawa’id al-fiqhiyyah) dijelaskan bahwa perintah terhadap suatu hal
/ perkara, maka berarti pula perintah untuk menciptakan sarana yang
memungkinkan perintah pertama tersebut terlaksana. Kaidah tersebut berbunyi
sebagai berikut :
“Perintah pada sesuatu maka berarti juga
perintah atas mediumnya, dan bagi medium hukumnya sama dengan hal yang dituju”.
(Muhlish Usman, 1996).
Di
samping itu, pengertian al-qalam sebagai
suatu alat tulis juga memberikan makna akan pentingnya melestarikan informasi
dalam bentuk tulisan. Informasi dalam bentuk tulisan ini mempunyai keunggulan tersendiri, baik dalam
hal usia informasi yang dapat lebih lama selama media tersebut tersimpan maupun
dalam hal penyebarluasannya. Hal ini berbeda dengan informasi lisan yang lebih
mudah hilang dan sangat terbatas jangkauan penyebarluasannya. Dalam praktek
kepustakawanan, tradisi tulisan ini menjadi pilar tumbuhnya perpustakaan.
Informasi dalam bentuk tulisan inilah yang menjadi perhatian perpustakaan di
dalam upaya kegiatan penyediaan informasi.
Selanjutnya
ajaran membaca seperti disebutkan dalam surat al-‘Alaq dikaitkan dengan nama
Tuhan (bi ismi robbika). Menurut
Quraish Shihab (1993), perintah ‘membaca’ yang diikuti dengan kalimat “dengan
nama Tuhanmu” seperti termaktub dalam ayat pertama surat al-Alaq tersebut mengandung
pengertian bahwa di samping kegiatan membaca memerlukan keikhlasan atau
kesadaran murni dari dalam diri seseorang (ikhlas), juga mengandung pengertian
akan perlunya bahan bacaan yang dapat mengantarkannya kepada kedekatan dengan
Allah SWT. Dengan kata lain perlu
memilih bahan bacaan yang tepat. Dalam kerangka kepustakawanan, maka kegiatan
penyediaan koleksi yang dilakukan oleh perpustakaan sebagai bahan-bahan bacaan
bagi pemakai perlu mempertimbangkan kesesuaian dengan kebutuhan pemakai.
Ketersediaan bahan bacaan yang sesuai dapat menimbulkan keikhlasan dalam
membacanya sehingga ia dapat memahami kandungan atau isi bahan bacaan sebagai
suatu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya. Di samping itu di dalam
penyediaan koleksi tersebut perlu memperhatikan dampak dari bahan-bahan bacaan.
Bahan bacaan yang baik adalah yang bermanfaat bagi pembacanya serta dapat
mendekatkan pada Tuhan.
Dengan
demikian dalam konteks kepustakawanan maka dapat dikatakan bahwa di dalam
ajaran Islam melalui surat al-‘Alaq sangat mendorong bagi para pemeluknya untuk
senantiasa membaca baik melalui teks-teks tertulis maupun tidak tertulis.
Membaca akan menjadikan seseorang menjadi bertambah ilmu pengetahuannya, dan
akan menjadikan masyarakat berkembang peradabannya. Dalam kerangka ini maka
keberadaan suatu perpustakaan merupakan alat atau sarana di dalam rangka
mewujudkan budaya baca sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama. Kegiatan
membaca sebagai bagian penting dalam konsep kepustakawanan muslim tidak saja ditujukan
bagi peningkatan pengetahuan semata-mata, akan tetapi pada gilirannya
diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan keagungan Tuhan sebagai pencipta
manusia dan seluruh jagat alam raya dan isinya.
Komentar
Posting Komentar