Langsung ke konten utama

Konsep Universitas Islam : Tinjauan Buku

Bagi masyarakat muslim, modernitas tidak selamanya sejalan dengan nilai-nilai atau ajaran agama yang diyakininya. Sering kali terdapat pertentangan antara agama dengan tatanan modernitas tersebut. Tatanan modernitas yang identik dengan kebudayaan Barat tidak jarang dianggap bertentangan nilai-nilai agama (Islam), dan karenanya diperlukan sikap yang arif dalam menghadapinya. Dalam hal ini sikap masyarakat muslim tidak harus selalu ditunjukkan dengan ‘membuang’ tatanan modernitas tersebut, tetapi dapat juga melakukan ‘Islamisasi’ terhadap nilai-nilai modernitas yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan Islam.
Salah satu hal yang ingin ditunjukkan oleh buku ini adalah bagaimana proses Islamisasi tersebut dilakukan. Pengetahuan modern atau pengetahuan yang berasal dari Barat yang bersifat bebas nilai atau netral dianggap tidak sesuai dengan konsep pengetahuan dalam Islam. Oleh karena itu pengetahuan Barat harus mengalami proses Islamisasi sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai suatu institusi yang paling bertanggung jawab dalam internalisasi nilai-nilai (Islam) terhadap pengetahuan modern tersebut.

Melalui buku Konsep Universitas Islam, Hamid Hasan Bilgrami dan Sayyid Ali Asyraf sebagai penulis buku berusaha menjelaskan bagaimana proses internalisasi nilai-nilai tersebut dilakukan. Dengan buku ini mereka mengemukakan gagasan-gagasannya berkaitan dengan upaya menumbuhkan semangat ‘serba keIslaman’, terutama menyangkut pentingnya Universitas Islam dalam melakukan rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu modern agar sesuai dengan ajaran Islam.
Sebelum menjelaskan bagaimana universitas Islam itu dibangun, terlebih dahulu pengarang buku ini menjeleskan konsep ilmu pengetahuan dalam Islam (Bab I). Dua hal yang dibahas dalam bab pertama ini, yaitu berkaitan dengan epistemologi dalam Islam dan sejarah perkembangan keilmuan di kalangan masyarakat muslim sejak awal Islam sampai abad ke-20. Ilmu dalam perspektif Islam haruslah didasarkan atas prinsip tauhid sebagai landasan spiritual tertinggi dalam Islam. Sebagai landasan spiritual tertinggi, nilai-nilai tauhid tercermn tiga aspek pokok ilmu pengetahuan, yaitu aspek etik dan persptual, aspek historik dan psikologik, dan aspek observatif dan eksperimental. Ilmu pengetahuan sebagai hasil dari observasi dan eksperimentasi terhadap alam seharusnya tidak berhenti pada realitas yang tampak saja, tetapi juga pada yang ada di balik relaitas tersebut. Ilmu haruslah dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu ilmu pengetahuan harus didasarkan atas nilai-nilai agama. Ilmu pengetahuan yang didasarkan atas ketiga aspek itulah yang telah diperoleh oleh masyarakat muslim pada masa-masa awal. Perkembangan ilmu-ilmu dalam sejarah Islam terutama sampai masa Abbasiyah telah mengalami sintesa antara pengetahuan yang bersifat empirik dengan agama. Akan tetapi, perkembangan ini tidak berlanjut setelah kejatuhan Baghdad oleh bangsa Tartar. Pada masa inilah ilmu pengetahuan mengalami masa kebekuan dan kemunduran. Masa ini ditandai dengan ditutupnya pintu ijtihad serta merebaknya sikap taklid di kalangan masyarakat muslim. Baru di akhir abad ke-19 atau awal abad 20 tumbuh kembali semangat keilmuan di kalangan masyarakat muslim. Akan tetapi, kesadaran ini tidak cukup untuk mengitegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan modern karena terdapatnya dualisme sistem pendidikan. Pada kondisi iniliah menurut pengarang buku ini diperlukan peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan yang berkembang dalam dunia Islam termasuk di dalamnya adalah konsep universitas Islam.
Konsep Universitas Islam sesungguhnya dapat dimulai dengan melakukan analisis terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang pernah ada di dunia Islam (Bab II). Melalui kajian terhadap sejarah pendidikan Islam, baik pada masa-masa awal Islam, abad pertengahan, maupun setelah masuknya pendidikan modern di berbagai negara Islam, didapatkan beberapa konsep yang dapat diterapkan dalam membangun suatu universitas Islam. Bagaimana ilmu pengetahuan diajarkan pada masa Nabi dan Sahabat, dan bagaimana sistem pendidikan dibangun, bagaimana ilmu pengetahuan berkembang pada masa keemasan Islam serta bagaimana kondisi pendidikan di bebarapa dunia muslim pada awal abad modern menjadi bahan-bahan yang menarik dalam membangun universitas Islam.
Dengan analisis tersebut seperti diuraikan dalam bab II, penulis buku ini mencoba menawarkan beberapa syarat yang diperlukan dalam membangun konsep universitas Islam (Bab III). Syarat pertama dan ini merupakan landasan pokok dalam membangun sebuah universitas adalah adanya konsep pendidikan yang lebih luas dan landasan umum yang terpadu. Dengan konsep ini dimaksudkan bahwa universitas Islam harus mengajarkan ilmu pengetahuan yang lebih luas yang tidak terikat pada studi ilmu-ilmu tradisional (ilmu naqli), akan tetapi meliputi segala pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada universitas Islam juga harus bersifat terpadu sesuai dengan prinsip ajaran Islam dengan berdasar atas ajaran tauhid. Oleh karena itu berbagai pengetahuan modern (Barat) yang sudah terlanjur tersebar harus mengalami proses Islamisasi. Syarat kedua adalah berkaitan dengan konseptualisasi ilmu pengetahuan. Universitas Islam harus melakukan usaha mencari konsep ilmu pengetahuan yang sesuai dengan ajaran Islam, baik ilmu-ilmu sosial, kealaman, maupun humaniora. Untuk itu penggalakan penelitian intensif merupakan perioritas utama dalam membangun universitas Islam. Syarat ketiga adalah berkaitan dengan kebutuhan tenaga (staf) yang memiliki pengabdian yang tinggi, tekun, disiplin, serta mempunyai pandangan yang luas dan pemahaman yang kritis. Syarat keempat adalah adanya seleksi terhadap mutu mahasiswa yang tidak terbatas pada satu wilayah tertentu, tetapi dari berbagai wilayah Islam lainnya. Syarat kelima adalah kebutuhan akan seorang organisator yang handal dan mampu membuat perencanaan dan pengembangan universitas. Dalam hal ini pimpinan universitas (rektor) diberikan kesempatan yang lebih lama untuk menerapkan langkah atau perencanaan tersebut (10 th). Syarat keenam adalah berkaitan tugas univesitas untuk melakukan Islamisasi terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan serta buku ajarnya dan bahkan metode pengajarannya. Akan tetapi, kegiatn ini dilakukan dengan tetap mempertahankan ciri keterbukan dan kebebasan (liberalisme pendidikan) universitas yang tidak terkukung oleh kekakuan dogmatik dan juga tetap tidak menyimpang dari prinsip dasar Islam. Syarat ketujuh adalah harus adanya kurikulum inti yaitu al-Qur’an dan sunnah sebagai ilmu pengetahuan dasar bagi semua mahasiswa, dan merupakan sumber untuk menafsirkan hakikat manusia, untuk melatih kepribadian manusia, dan untuk merumusukan segala prinsip dasar bagi semua cabang ilmu pengetahua. Syarat kedelapan adalah pembentukan lembaga-lembaga penunjang baik untuk keperluan penelitian maupun untuk eksperimentasi terhadap apa yang telah dirumuskan seperti sekolah model. Syarat kesembilan adalah perlunya dikembangkan pendidikan keguruan yang akan mengembangkan metodologi pengajaran. Dengan demikian universitas Islam tidak saja dapat menghasilkan para sarjana peneliti yang mampu merumuskan konsep pengetahuan secara Islam, tetapi juga sarjana yang akan mengajarkan berbagai bidang studi atau semua cabang ilmu pengetahuan tersebut agar dapat diintegrasikan pada semua tingkatan pendidikan.
Beberapa persyaratan di atas tidak berarti terhenti ketika sudah terpenuhi. Syarat-syarat tersebut harus selalu ada sebagai suatu kesinambungan, dan oleh karena itu harus terus dikembangkan seperti harus adanya pendidikan dasar dan spesialisasi terhadap penguasaan ilmu pengetahuan (Bab IV).
Uraian dalam buku ini sekalipun terkesan sangat idealis karena betapa sulit melakukan rekonstruksi terhadap semua cabang ilmu pengetahuan, juga karena masih terdapatnya perbedaan di kalangan masyarakat muslim terhadap perlu tidaknya Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut. Meskipun demikian, buku ini layak dibaca dan bahkan perlu dikaji lebih lanjut terutama bagi para mahasiswa maupun akademisi lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah pendidikan. Bagi kalangan akademisi di lingkungan pendidikan tinggi Islam, terutama di IAIN, buku ini dapat menjadi bahan yang menarik bagi wacana pengembangan IAIN dalam rangka usaha mengintegrasikan dikotomi ilmu pengetahuan, dan menjadikan IAIN sebagai pilot project dalam menuju terwujudnya Universitas Islam Negeri.


Tinjauan Buku
Konsep Universitas Islam
Karya Dr.Hamid Hasan Bilgrami & Dr. Syed Ali Asyraf
Diterbitkan oleh Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta 1989
-------------------------------------------------------------------------
The Concept Of Islamic University
By Dr.Hamid Hasan Bilgrami & Dr. Syed Ali Asyraf
Cambridge: Hodder and Stoughton & The Islamic Academy, 1985

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Iqra' dan Kepustakawanan Islam

  “ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. 96: 1-5). Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT.   sebagai agama bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran agama Islam yang sumber pada wahyu baik berupa al-Qur’an maupun hadits diyakini telah memuat ajaran-ajaran yang bersifat konprehensif dan universal. Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan berlaku sepanjang zaman. Selanjutnya hadits-hadits Nabi menjadi penjelasan ( al-bayan ), penguat ( al-ta’kid ), dan pemberi rincian ( al-tafshil ) pelaksanaan ajaran agama. Karakteristik komprehensifitas (kemenyeluruhan) al-Qur’an tersebut bukan berarti sumber-sumber pokok ajaran Islam tersebut telah mengatur se

Dunia Perbukuan Pada Masa Kejayaan Islam

Oleh : Agus Rifai Pustakawan Madya pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tradisi kepustakawanan tidak dapat dilepaskan dari dunia perbukuan. Buku merupakan salah satu bentuk media penyimpan informasi yang paling banyak dikenal masyarakat, dan merupakan salah satu jenis koleksi yang paling mendominasi di berbagai perpustakaan. Demikian pula dalam sejarah perpustakaan, buku merupakan sumber awal tumbuh dan berkembangnya perpustakaan-perpustakaan tanpa kecuali di dunia Islam.

Tentang Kepustakawanan Islam

Istilah kepustakawanan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, yaitu librarianship yang berasal dari kata librarian . Librarian   dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pustakawan, yaitu seseorang yang bekerja di perpustakaan atau petugas perpustakaan yang mendapat pendidikan ilmu perpustakaan (Neufeldt, 1996). Dengan merujuk pada pengertian ini sesungguhnya kepustakawan merujuk pada tugas-tugas atau kegiatan pustakawan dalam kaitannya dengan perpustakaan, atau kegiatan dalam upaya-upaya pelaksanaan tugas-tugas dan pengembangan perpustakaan.