Langsung ke konten utama

Perpustakaan dan Pendidikan Multikulturalisme

Pendahuluan

Pada dasawarsa terakhir, wacana multikulturalisme menjadi isu penting dalam upaya pembangunan kebudayaan di Indonesia. Hal ini menurut hemat penulis didasarkan beberapa alasan. Pertama, bahwa secara alami atau kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman kebudayaan, dan oleh karena itu pembangunan manusia harus memperhatikan keanekaragaman budaya tersebut. Dalam konteks ke-Indonesia-an maka menjadi keniscayaan bahwa pembangunan manusia Indonesia harus didasarkan atas multikulturalisme mengingat kenyataan bahwa negeri ini berdiri di atas keanekaragaman budaya.

Kedua, bahwa ditengarai terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang melanda negeri ini pada dasawarsa terkahir ini berkaitan erat dengan masalah kebudayaan, Dari banyak studi menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama dari konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Menurut AlQadrie (2005), Profesor Sosiologi pada Universitas Tanjungpura Pontianak, berbagai konflik social yang telah menimbulkan keterpurukan di negeri ini adalah disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan social, dan tumbuhnya sikap egois serta kurang perasaan atau kepekaan social. Hal sama juga dikemukan oleh Rahman (2005) bahwa konflik-konflik di kedaerahan sering terjadi seiring dengan ketiadaan pemahaman akan keberagaman atau multikultur. Oleh karena untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut perlu dikembangkan pendidikan multikulturalisme.
Ketiga, bahwa pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi manusia untuk menghadapi tantangan global di masa mendatang. Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. (Suara Pembaruan: 09/09/04). Konflik antar budaya yang disebutnya oleh Samuel P. Huntington (1993) sebagai benturan antarperadaban akan mendominasi politik global. Dalam bukunya yang terkenal, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, Huntington menyebutkan bahwa terjadinya berbagai konflik sosial dan etnis di berbagai belahan dunia antara lain disebabkan oleh perbedaan kebudayaan yang semakin nyata. Untuk menghindari benturan tersebut, atau setidaknya meminimalkan dampak dari benturan tersebut menurut salah seorang penulis lepas online perlunya dibangun pemahaman tentang keanekaragaman kebudayanaan, demikian tulis salah seorang penulis lepas pada situs http://www.penulislepas.com/.
Beberapa uraian di atas setidaknya menggambarkan betapa pentingnya pendidikan multikulturalisme harus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Dalam kerangka ini penulis ingin melihat bagaimana pendidikan multikulturalisme dilakukan oleh perpustakaan. Dengan kata lain, bagaimana perpustakaan berperan dalam mengembangan pendidikan multikuralisme melalui berbagai kegiatan dan layanannya.
Pendidikan Multikulturalisme
a. Pengertian Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudyaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Multikulturalsime adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat yang multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut.. Dengan demikian, multikultutalisme diperlukan dalam membentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayaan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbagnsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusian sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
b. Mengembangkan Mutlikulturalisme melalui Pendidikan
Multikuralisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi insprisai dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Mengingat pentingnya pemahaman multkulturalisme dalam pembangunan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mewujudkannya. Kita perlu menyebarluaskan pemahaman dan mendidik masyarakat akan pentingnya multikuralisme bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain kita memerlukan pendidikan multikulturalisme yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, adat, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Menurut Rahman (2002), Dosen dari Universitas Negeri Padang, seperti dikutip dalam Surat Kabar Kampus “Ganto”, menyebutkan bahwa rerdasarkan hasil diskusi pada Pelayaran kebangsaan (PK) ke-5, kami merekomendasikan akan pentingnya pendidikan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Pendidikan multikultur dapat diterapkan seiring dengan kurikulum sekarang yaitu kurikulum berbasis kompetensi, seperti pengenalan akan budaya-budaya setiap daerah yang ada di Indonesia di sekolah-sekolah. Singkatnya, revitalisasi dan optimalisasi KBK dengan menerapkan Pendidikan multikulturalisme didalamnya," tambah pria yang juga pernah mewakili UNP pada LKTM tingkat nasional tahun lalu.
Pentingnya pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal saja, akan tetapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan institusi-institusi lainnya. Dalam kerangka ini, menurut hemat penulis, perpustakaan merupakan salah satu institusi penting dalam penyeleanggaraan pendidikan multikulturalisme. Hal ini didasarkan atas berbagai fungsi yang dimiliki oleh perpustakaan, baik fungsi pendidikan, fungsi social, fungsi informasi, maupun fungsi pelestarian kebudayaan.
Berkenaan dengan kegiatan pendidikan multikulturalisme di perpustakaan ini kan dibahas pada bab selanjutnya.
Pendidikan Multikulturalisme di Perpustakaan
Salah satu fungsi utama suatu perpustakaan adalah fungsi edukasi atau fungsi pendidikan. Perpustakaan merupakan salah satu bentuk pusat atau lembaga pendidikan. Perpustakaan sebagai pusat pendidikan akan tergambar dari pemanfaatan perpustakaan sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat dalam proses pembelajaran. Perpustakaan merupakan lembaga pendidikan non formal di mana seseorang, baik individu maupun kelompok dapat menggunakan perpustakaan sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, sebagai suatu pusat atau lembaga pendidikan maka perpustakaan diharapkan dapat berperan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia., yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Gerbang Multikultural
Perpustakaan seperti ditulis oleh Greenhalgh dan Worpole (1995) merupakan suatu gerbang bagi kebudayaan secara luas ( a entry point to the wider culture), dan sebagai gerbang kebudayaan maka menurutnya perpustakaan haruslah merupakan tempat yang ‘bebas noda’ atau netral dari keberpihakan (libraries is non-stigmatizing places). Perpustakaan hendaknya menjadi tempat penyimpanan beragam kebudayaan manusia di mana seseorang dapat mengenal dan memahami beragam kebudayaan yang dimiliki oleh manusia.
Pernyataan Greenhalgh dan Worpole tersebut sejalan fungsi perpustakaan itu sendiri. Suatu perpustakaan apapun jenisnya berfungsi sebagai sarana pelestarian berbagai khazanah kebudayaan manusia. Hasil-hasil karya manusia dalam berbagai bentuk dan jenisnya yang merupakan hasil budi daya manusia akan disimpan dan dilestarikan sebagai suatu khazanah (Sulityo-Basuki, 1993). Sebagai tempat penyimpanan dan pelestarian khazanah kebudayan manusia, perpustakaan mempunyai tugas utama dalam hal penyediaan berbagai jenis subyek dan bentuknya, baik tercetak, non cetak maupun elektronik. Dengan pemahaman ini maka suatu perpustakaan akan mengumpulkan berbagai jenis dan ragam hasil-hasil karya intelektual manusia sebagai suatu kebudayaan yang direkam dalam berbagai jenis media rekam informasi. Berbagai buku, jurnal, pamlet, makalah, laporan penelitian, kaset, kaset video, disket, disk, sampai alat penyimpan informasi elektronis lainnya merupakan sumber-sumber informasi atau koleksi perpustakaan. Sumber-sumber informasi ini berisi beragam jenis subjek yang merefleksikan aspek-aspek kebudayaan manusia.
Pendidikan multikulturalisme sebagai dijelaskan di atas memerlukan pengenalan terhadap beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia dari beragam suku bangsa, ras atau etnis, dan agama. Keragaman koleksi yang mencakup berbagai subjek dan aspek-aspeknya merefleksikan keterbukaan perpustakaan terhadap isu-isu pluralisme dan multikulturalisme. Semakin akomodatif kebijakan suatu perpustakaan terhadap berbagai sumber-sumber informasi dari beragam kebudayaan maka berarti perpustakaan tersebut telah menunjunkan kepeduliannya terhadap pendidikan multikulturalisme. Demikian pula sebaliknya, jika perpustakaan koleksi perpustakaan hanya terdiri dari satu jenis subjek atau mempunyai subjek yang terbatas, berarti bahwa perpustakaan tersebut kurang menyebarluaskan pendidikan multikutlturalisme. Dalam kerangka pendidikan multikulturalisme ini pada dasarnya koleksi perpustakaan yang multikultural merupakan bagian dari materi pendidikan yang disediakan bagi para pemakai perpustakaan. Melalui pemanfaatan koleksi perpustakaan yang multikultural tersebut diharapkan para pemakai perpustakaan mengenal dan memahami beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia yang pada gilirannya akan tumbuh saling pengertian dan menghargai perbedaan kebudayaan di antara sesama.
Dalam hal ini satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa perpustakaan tidak boleh dijadikan sarana propaganda bagi satu kebudayaan atau faham tertentu sebab hal ini akan bertentangan dengan konsep multikulturalisme. Dalam kerangka ini maka perpustakaan harus menjadi lembaga yang inklusif, dan bukan exklusif terhadap beragam kebudayaan umat manusia.
Dialog Kebudayaan
Pendidikan multikulturalisme meniscayakan adanya dialog kebudayaan sehingga di antara keragaman kebudayaan yang ada tidak akan terjadi benturan, apalagi menjadi sumber konflik. Tibi (1996) menyatakan bahwa dialog kebudyaan merupakan cara terbaik dalam membuat saling pengertian guna menegakkan perdamaian di dunia. Kemudian, bagaimana dialog kebudayaan tersebut terjadi di perpustakaan?
Menurut Gates (1994), sejarah perpustakaan di dunia sejak awal hingga kini telah meniscayakan bahwa perpustakaan berkaitan erat dengan cara penyimpanan atau pelestarian (preserving) dan pengalihan (transmitting) informasi dan pengetahuan dalam berbagai bahan dan bentuk fisiknya yang digunakan untuk berbagai tujuan. Juga, berkaitan dengan cara penyimpanan dan pengelolaan agar dapat secara mudah diakses atau digunakan oleh para penggunanya. Dengan pemahaman ini, berarti bahwa perpustakaan sebagai suatu institusi tidak hanya mempunyai tanggung jawab dalam hal penyediaan sumber-sumber informasi saja, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap penyebarluasan sumber-sumber informasi tersebut kepada masyarakat. Masyarakat sebagai pemakai informasi mempunyai hak untuk mengakses atau menggunakan yang disediakan oleh perpustakaan. Dalam hal ini, diharapkan suatu perpustakaan dapat menyediakan berbagai layanan dan kegiatan yang dapat membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat terhadap kekayaan informasi; tidak hanya terbatas yang dimiliki oleh perpustakaan, akan tetapi juga yang terdapat di luar perpustakaan. Peran sebagai penyediaan akses ini pada dasarnya merupakan refleksi dari tanggung jawab perpustakaan dalam hal penyebarluasan informasi, dan sebagai bentuk kepedulian terhadap kehidupan masyarakat. Tanggungjawab perpustakaan dalam hal penyebaran informasi ini tentu tidak terbatas pada pemberian layanan yang bersifat rutinitas dan cenderung bersifat pasif atau menunggu pemakai mendatangi perpustakaan, akan tetapi hendaknya dipahami sebagai suatu tanggung jawab sosial suatu perpustakaan.
Dalam konteks pendidikan multikulturalisme maka berbagai layanan dan kegiatan yang diselenggarakan oleh perpustakaan sebagaimana dinyatakan oleh Greenhalgh dan Worpole (1995) akan menyediakan suatu dialog atau titik hubungan antara individu dengan masyarakat dengan berbagai karakteristik budaya. Hubungan atau dialog ini terjadi melalui suatu media seperti buku, majalah, film, dan sumber-sumber informasi lainnya yang tersedia di perpustakaan. Melalui penyediaan dan pemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan tersebut, para pemakai perpustakaan yang mempunyai latar belakang kebudayaan berbeda dapat mengenali sekaligus memahami berbagai kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat lainnya.
Di samping itu, selain melalui pemanfaatan sumber-sumber informasi, dialog kebudayaan ini dapat terjadi secara langsung di antara para pemakai perpustakaan, antara satu pemakai dengan pemakai lainnya, dan antara pemakai dengan pustakwan yang memiliki kebudayaan yang berbeda,. Semakin intens atau sering pemakai memanfaatkan layanan perpustakaan maka semakin sering suatu dialog tersebut terjadi. Oleh karena keanekaragaman atau variasi layanan dan kegiatan yang disediakan atau diselenggarakan oleh perpustakaan akan berpengaruh terhadap tingkat kualitas dan kuantitas dari suatu dialog kebudayaan.
Dengan semakin sering terjadinya dialog tersebut, baik antara pemakai dengan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan, antara pemakai dengan pemakai lainnya, maupun antara pemakai dengan pustakawan, diharapkan dapat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku seseorang dalam memaknai dan mempersepsikan perbedaan dan keragaman kebudayaan. Berbagai bentuk dialog tersebut diharapkan dapat menanamkan sifat toleran, tidak memaksakan kehendak dan “kebenaran” pribadinya kepada pihak lain.
Apresiasi Budaya
Selain sebagai gerbang keanekaragaman kebudayaan dan sebagai tempat terjadinya dialog antarbudaya, perpustakaan juga dapat merupakan sebagai tempat apresiasi kebudayaan. Keragaman koleksi perpustakaan yang multikultural yang tersusun dengan baik dan sistematis merupakan bentuk peragaan dan pameran kebudayaan. Display koleksi umum maupun koleksi terbaru perpustakaan yang terpajang di ruang publik yang menawarkan refleksi keanekaragaman kebudayan baik masa lalu maupun masa kini merupakan bentuk apresiasi budaya.
Di samping itu, berbagai kegiatan lain seperti pameran buku-buku, bedah buku, lokakarya, penayangan film dokumenter dan kebudayaan, dan berbagai kegiatan lainnya dapat diselenggarakan oleh perpustakaan dalam rangka mengenalkan keragaman kebudayaan umat manusia. Berbagai event nasional maupun internasional, baik yang bersifat social, budaya, dan keagamaan dapat menjadi moment terpenting dalam mengenalkan keanekaragaman kebudayaan manusia. Misalnya, pada event Maulid Nabi dapat dipamerkan buku-buku berkenaan dengan ketokohan dan kepribadian Nabi Muhammad SAW, demikian pula pada event-event keagamaan lainnya. Pada peringatan Sumpah Pemuda (28 Oktober), juga dapat digunakan sebagai sarana mengenalkan beragam kebudayaan daerah di Indonesia.
Berbagai kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat mengenalkan keragaman kebudayaan dan sekaligus untuk meningkatan apresiasi terhadap keanekaragaman kebudayaan yang ada sebagai bagian dari kegiatan pendidikan multikultalisme.
Kesimpulan
Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perpustakaan merupakan suatu lembaga yang secara potensial dapat menumbuhkan kembangkan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Koleksi perpustakaan merupakan gerbang multikultural yang secara jelas menggambarkan beragam kebudayaan umat manusia. Melalui koleksi perpustakaan para pemakai perpustakaan mulai mengenal keragaman kebudayaan manusia untuk mencapai pemahaman dan pemaknaan terhadap perbedaan. Selanjutnya, melalui gerbang ini, para pemakai kemudian masuk dan berdialog dengan beraneka ragam kebudayaan, baik melalui pemanfaat koleksi maupun melalui serangkai layanan dan kegiatan perpustakaan sehingga diharapkan akan tumbuh semangat dan sikap untuk menghargai keragaman dan perbedaan kebudayaan yang ada.


BIBLIOGRAFI
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2005. Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui Pendidikan. http://www.damandiri.or.id/file/ernibab2.pdf. Diakses tanggal 24 Spetmebr 2006
Fajar, Malik. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme. http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305. Diakses tanggal 24 Spetmebr 2006
Gates, Jean Key. 1994. Guide to the Use of Libraries and Information Sources. New York: McGraw-Hill.
Geger. Mengkomposisikan Integrasi sebagai Fondasi Multikulturalisme. http://www.penulislepas.com/more.php?id=D775_0_1_0_M. Diakses tanggal 24 Spetmebr 2006
Greenhalgh, Liz & Ken Worpole. 1995. Libraries In A World Of Cultural Change. London: UCL Press.
Harian Suara Pembaharuan. 9 Sptember 2004. Tanggung Jawab Besar Pendidikan Multikultural. http://www.sampoernafoundation.org/content/view/212/48/lang,id/. Diakses tanggal, 24 Spetmebr 2006
Huntington, Samuel. P. 2000. Benturan antarperadaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam.
Rahman. 2005. Pentingnya Pendidikan Multikultur Atasi Konflik Etnis. http://www.ganto-online.com/index.php?option=com_content&task=view&id=55&Itemid=73. Diakses tanggal 24 Spetmebr 2006.
Sulistyo-Basuki. 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm. Diakses tanggal 24 Spetmebr 2006
Tibi, Bassam. 1996. “Moralitas Internasional Sebagai suatu Landasan Lintas-Budaya”. Dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Cemerlang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Iqra' dan Kepustakawanan Islam

  “ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. 96: 1-5). Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT.   sebagai agama bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran agama Islam yang sumber pada wahyu baik berupa al-Qur’an maupun hadits diyakini telah memuat ajaran-ajaran yang bersifat konprehensif dan universal. Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan berlaku sepanjang zaman. Selanjutnya hadits-hadits Nabi menjadi penjelasan ( al-bayan ), penguat ( al-ta’kid ), dan pemberi rincian ( al-tafshil ) pelaksanaan ajaran agama. Karakteristik komprehensifitas (kemenyeluruhan) al-Qur’an tersebut bukan berarti sumber-sumber pokok ajaran Islam tersebut telah mengatur se

Dunia Perbukuan Pada Masa Kejayaan Islam

Oleh : Agus Rifai Pustakawan Madya pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tradisi kepustakawanan tidak dapat dilepaskan dari dunia perbukuan. Buku merupakan salah satu bentuk media penyimpan informasi yang paling banyak dikenal masyarakat, dan merupakan salah satu jenis koleksi yang paling mendominasi di berbagai perpustakaan. Demikian pula dalam sejarah perpustakaan, buku merupakan sumber awal tumbuh dan berkembangnya perpustakaan-perpustakaan tanpa kecuali di dunia Islam.

Tentang Kepustakawanan Islam

Istilah kepustakawanan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, yaitu librarianship yang berasal dari kata librarian . Librarian   dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pustakawan, yaitu seseorang yang bekerja di perpustakaan atau petugas perpustakaan yang mendapat pendidikan ilmu perpustakaan (Neufeldt, 1996). Dengan merujuk pada pengertian ini sesungguhnya kepustakawan merujuk pada tugas-tugas atau kegiatan pustakawan dalam kaitannya dengan perpustakaan, atau kegiatan dalam upaya-upaya pelaksanaan tugas-tugas dan pengembangan perpustakaan.